Moh. Ja’far Sodiq Maksum dosen Fakultas Ekonomi Universitas KH. A. Wahab Hasbullah
OPINI, Jatim.News — Lonjakan PBB-P2 di Jombang hingga ratusan—bahkan seribu—persen memang nyata dirasakan warga: sejumlah kasus individu menunjukkan kenaikan nyaris 400% sejak 2024, sementara laporan lain mencatat tagihan yang melonjak sampai ±1.000% setelah pemutakhiran zona nilai tanah (ZNT).
Pemicunya kombinasi teknis dan kebijakan: penyesuaian NJOP (yang menjadi dasar PBB-P2) memang diamanatkan ditetapkan berkala—umumnya tiap 3 tahun—agar mendekati harga pasar, tetapi tanpa basis data spasial yang presisi, audit ZNT yang terbuka, dan kanal koreksi yang efektif, penyesuaian itu mudah “melompat” dan menimbulkan ketidakadilan antar-wajib pajak di kampung dan kota. Data yang dipublikasikan memperlihatkan warga Jombang mengajukan ribuan keberatan, sebagian mengaku tidak mendapat sosialisasi memadai dan mendapati kekeliruan klasifikasi objek pajak, indikasi bahwa problem utamanya bukan sekadar tarif, melainkan akurasi penilaian dan prosesnya.
Dalam konteks fiskal yang lebih luas, isu menyusutnya alokasi transfer ke daerah di RAPBN 2026 ikut memicu kecurigaan publik bahwa daerah menutup celah pendapatan lewat PBB; kendati demikian, Mendagri menegaskan kewenangan PBB-P2 ada pada pemda dan kebijakannya tidak serta-merta terkait efisiensi anggaran pusat—pesan penting untuk memisahkan fakta fiskal dari persepsi politik.
Pelajaran paling terang datang dari “tragedi Pati”: kenaikan PBB 250% berujung eskalasi protes, kericuhan, dan akhirnya pembatalan serta permintaan maaf bupati. Agar Jombang tak mengulang episode itu, pemerintah daerah perlu segera menurunkan “tekanan sosial” melalui tiga langkah serempak:
(1) jeda kebijakan—memanfaatkan Surat Edaran Mendagri yang membolehkan penundaan atau pencabutan Perkada kenaikan PBB/NJOP dan pemberlakuan tarif tahun sebelumnya bila dinilai memberatkan;
(2) audit terbuka basis data—publikasikan peta ZNT/NJOP per blok, buka loket koreksi dengan SLA jelas, dan laporkan berapa banyak ketetapan yang direvisi;
(3) dialog fiskal—paparkan kebutuhan APBD dan skenario alternatif (mis. bertahap, pembebasan NJOPTKP yang lebih tinggi untuk rumah tangga rentan, cap kenaikan tahunan, dan keringanan denda), sambil melibatkan DPRD, perguruan tinggi, RT/RW, dan asosiasi profesi penilai. Pendekatan berbasis data, transparansi, dan musyawarah yang terukur—bukan penegasan sepihak—adalah kunci menjaga legitimasi pajak daerah sekaligus keberlanjutan layanan publik di Jombang.
Latar Belakang
Berbagai sumber resmi mengonfirmasi bahwa lonjakan PBB-P2 di Jombang bermula dari pembaruan Zona Nilai Tanah (ZNT) 2022 yang kemudian dipakai sebagai basis NJOP pada 2024–2025 berdasarkan Perda Jombang No. 13/2023 (PDRD). Kepala Bapenda Jombang menyebut langsung bahwa kenaikan tajam “sampai 1.202%” pada sebagian objek terjadi karena NJOP yang dirujuk adalah hasil appraisal 2022, sementara pendataan massal baru rampung pada akhir 2024—dan itulah yang kelak dipakai untuk penetapan baru di 2026 agar beban masyarakat turun.
Pernyataan ini konsisten di kanal berita pajak nasional (DDTC), jaringan Jawa Pos, dan situs resmi Pemkab Jombang. Pemda juga menyatakan sedang merevisi Perda 13/2023 untuk menyesuaikan metodologi penentuan NJOP dan memberi ruang keberatan/keringanan yang lebih jelas. Data lapangan memperlihatkan skala dampak: belasan ribu keberatan diajukan warga sejak 2024; sebagian media lokal menyebut angka >16 ribu.
Di sisi teknis, Kepala Bapenda mengakui ada pekerjaan pendataan 2018/2019 yang “tak dipakai” dan sempat jadi temuan BPK—indikasi adanya problem mutu data historis yang ikut “menyetrum” NJOP 2022 ketika ditarik ke tagihan 2024–2025. Semua ini terjadi di atas rel baru UU 1/2022 (HKPD) dan PP 35/2023 yang memberi ruang tarif hingga 0,5% dan NJKP 20–100%. Kombinasi kenaikan basis (NJOP) dan parameter (tarif/NJKP) secara aritmetika memang bisa melipatgandakan tagihan—misalnya dari rezim lama 0,1% × 20% ke rezim baru 0,3–0,5% × 40–100%—tanpa ada perubahan fisik aset apa pun.
Dari sisi tata kelola, respon kebijakan kini bergerak ke arah koreksi: Bupati dan DPRD menyiapkan perhitungan ulang NJOP berbasis pendataan massal (bukan appraisal 2022) dan menegaskan penurunan/normalisasi PBB-P2 mulai 2026, sembari memperluas kanal keberatan—ini sejalan dengan imbauan Wagub Jatim Emil Dardak agar jangan terulang “efek Pati” (gejolak sosial yang memaksa pembatalan kebijakan kenaikan PBB-P2 di Pati).
Pelajaran dari Pati jelas: ketika rentetan koreksi, komunikasi, dan akses banding terlambat, kepercayaan publik runtuh dan keputusan akhirnya dibatalkan total. Di Jombang, jendela untuk soft-landing masih terbuka—apalagi konteks fiskal nasional memang menyempitkan ruang TKD pada 2026 sehingga dorongan menaikkan PAD akan selalu ada.
Itu sebabnya, akuntabilitas metodologi NJOP (data sumber, sampling, klasifikasi ZNT), transparansi biaya/proses appraisal, serta simulasi terbuka dampak tarif-NJKP per klaster (pertanian, UMKM, perdesaan, perkotaan) harus dipublikasikan sebagai dasar dialog dan koreksi yang adil. Jika ini dikawal, koreksi berbasis data bisa menurunkan tensi sosial tanpa memukul kesinambungan fiskal daerah.
Analisis
Lonjakan PBB-P2 bisa dipahami dari sisi teknis: basis pajaknya adalah NJOP yang diturunkan dari ZNT, lalu dikalikan dengan NJKP (dasar pengenaan) dan tarif. Sesuai UU 1/2022 dan PP 35/2023, pemerintah daerah diberi ruang mengatur—termasuk rentang NJKP 20–100% dan tarif PBB-P2 hingga 0,5%—sehingga jika pembaruan ZNT dilakukan setelah jeda panjang lalu langsung diterapkan bersamaan dengan perubahan parameter, tagihan dapat “melonjak ganda”.
Di sinilah masalah tata kelola muncul: tanpa pendataan yang akurat, audit terbuka, dan tahapan penerapan yang wajar, kebijakan sah secara hukum dapat terasa tidak adil secara sosial dan memicu resistensi.
Secara perilaku, kepatuhan pajak amat ditentukan oleh kepercayaan dan rasa keadilan. Literatur tentang tax morale menunjukkan warga lebih bersedia patuh ketika mereka melihat saling timbal (layanan publik nyata), proses yang transparan, dan kesempatan menyuarakan keberatan.
Eksperimen global bahkan mendapati bahwa memberi ruang partisipasi anggaran dan menonjolkan upaya antikorupsi meningkatkan moral pajak secara terukur; sebaliknya, perluasan pungutan tanpa kejelasan manfaat menurunkan kemauan membayar dan memperbesar peluang negosiasi/protes di tingkat lokal. Artinya, di luar formula pajak, desain proses—pelibatan warga, feedback loop, dan akuntabilitas—ikut menentukan stabilitas sosial.
Banyak yurisdiksi mengantisipasi “tax shock” melalui mekanisme peredam: phase-in kenaikan, batas (levy) tahunan, serta circuit-breaker/kredit pajak untuk rumah tangga berpenghasilan rendah atau lansia ketika tagihan melebihi proporsi tertentu dari penghasilan. Bukti komparatif (OECD, Lincoln Institute, Tax Foundation) menunjukkan kebijakan seperti ini lebih efektif menarget kelompok rentan daripada pembebasan massal, sekaligus menjaga keberlanjutan penerimaan daerah.
Kerangka Indonesia pun memungkinkan koreksi terarah: PP 35/2023 menyediakan instrumen pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan; pemda dapat menggunakannya seraya menata ulang data dan mempublikasikan simulasi dampak agar publik memahami logika kebijakan.
Pelajaran mutakhir dari Pati memperlihatkan bagaimana kenaikan besar yang lemah legitimasi sosial bisa berujung pada gelombang protes dan akhirnya pembatalan; biaya sosial-politiknya nyata. Agar Jombang tidak menempuh jalan serupa, dua hal krusial: pertama, hentikan eskalasi lewat jeda sementara dan evaluasi terbuka—selaras dengan semangat SE Mendagri terbaru yang menekankan kenaikan pajak daerah harus adil dan dapat ditunda/cabut bila memberatkan; kedua, buka data & ruang koreksi (loket banding, audit ZNT/NJOP berbasis peta blok, SLA keputusan), sehingga warga melihat proses yang rasional, bukan sekadar angka yang melonjak. Kombinasi desain kebijakan yang empatik dan komunikasi yang transparan adalah kunci mencegah destabilisasi sosial sambil tetap menjaga kesehatan fiskal daerah.
Rekomendasi Kebijakan
Penutup
Reformasi PBB bukan sekadar soal menaikkan angka PAD—ia soal legitimasi fiskal, keadilan distribusi, dan kemampuan pemerintah daerah menjaga kerentanan warganya. Jombang berada pada momen kritis: dengan menerapkan paket teknis di atas (audit terbuka, phase-in, circuit-breaker, mekanisme banding cepat, serta komunikasi partisipatif), daerah tidak hanya meredam risiko konflik sosial tetapi juga meningkatkan kualitas basis pajak jangka panjang—lebih akurat, lebih adil, dan lebih tahan politik. Jika Jombang memilih proaktif, bukan reaktif, ia akan memperbaiki kepercayaan publik dan menata PAD yang berkelanjutan tanpa menempatkan warganya pada beban yang tidak proporsional.
Penulis : Moh. Ja’far Sodiq Maksum
Fakultas Ekonomi Universitas KH. A. Wahab Hasbullah
jafarsodiq@unwaha.ac.id
OPINI, Jatim.News -- Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang merupakan lembaga mandiri yang dibentuk sebagai wadah partisipasi…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhuutani (Kesatuan Pemangkuan Hutan) KPH Jombang bersama Dandim 0810/Nganjuk, gelar Rakor (Rapat…
JOMBANG, Jatim.News -- Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang menggelar Workshop Pengenalan Warisan Budaya…
JOMBANG, Jatim.News -- Dalam rangka peningkatan pribadi rimbawan yang dapat membanggakan, Perum Perhutani Divisi Regional…
MADIUN, Jatim.News–Kapolres Madiun AKBP Kemas Indra Natanegara memberangkatkan secara serentak total 35.750 kilogram beras murah…
MADIUN, Jatim.News -- Tanggal 17 Agustus merupakan momentum bersejarah bagi Bangsa Indonesia untuk memperingati Kemerdekaan…