OPINI

Di Balik Amuk yang Berbaju Demo Massa: Mengungkap Kepentingan yang Tersembunyi

OPINI, Jatim.News — Api yang Menyala dari Jalanan
“Demo adalah hak rakyat, tapi amuk adalah musibah.” Kalimat itu berulang kali terdengar dari mulut warga yang menyaksikan betapa cepatnya sebuah aksi protes berubah menjadi kerusuhan.

Pemandangan jalanan dipenuhi asap ban terbakar, batu beterbangan, aparat berhadapan dengan massa, hingga gedung-gedung pemerintahan dilalap api, sudah terlalu sering kita lihat.

Demo massa sejatinya merupakan salah satu pilar demokrasi. Ia memberi ruang bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi, mengingatkan penguasa bahwa mandat yang diberikan bukan tanpa batas. Namun, dalam praktiknya, demo kerap berbelok dari jalur.

Dari sekadar orasi lantang di atas mobil komando, suasana bisa berubah menjadi amuk yang tak terkendali. Pertanyaannya: mengapa dan siapa yang diuntungkan?

Tulisan ini mencoba membongkar fenomena amuk berbaju demo massa yang dalam beberapa hari terakhir mengoyak wajah kota-kota di Indonesia. Data dan catatan lapangan menunjukkan bahwa ada pola dan kepentingan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Babak Api: Dari Senen ke Makassar
Dalam waktu yang relatif singkat, hampir setiap waktu muncul kabar tentang fasilitas publik atau gedung pemerintahan yang dibakar massa.

Daftarnya panjang:
Halte Busway Senin dan SCBD, Jakarta, dibakar.
Gedung DPRD Bandung, Gorontalo, Brebes, Pekalongan, hingga Solo luluh lantak.
Kantor Mapolda Jogja dan Solo diserang api.
Pospol di Medan dan Senen dibakar.
bil DPRD Semarang hangus.
Mako Brimob Depok tak luput dari amuk.

Fenomena ini bukan sekadar insiden terpisah. Pola serupa muncul: amuk diarahkan pada simbol negara (gedung DPRD, kantor polisi, markas Brimob) dan fasilitas publik vital (halte busway).
Pertanyaan kritis muncul: mungkinkah semua itu murni spontanitas rakyat marah? Atau ada “tangan tak terlihat” yang sengaja mengarahkan?

Ketika Demo Berubah Menjadi Amuk
Secara teoritis, demo massa bisa dianalisis melalui dua kacamata:
Sosiologis: Kerumunan besar cenderung kehilangan rasionalitas individu. Emosi kolektif lebih mudah tersulut sehingga aksi protes mudah menjelma kerusuhan.

Gustave Le Bon dalam The Crowd: A Study of the Popular Mind menulis bahwa dalam kerumunan, individu sering kehilangan kontrol dan terdorong melakukan tindakan ekstrem.

Politik-Institusional: Demo sering ditunggangi aktor berkepentingan. Mereka bisa berasal dari oposisi politik, oligarki ekonomi, bahkan jaringan kriminal. Isu rakyat dijadikan “bahan bakar”, sementara arah kerusuhan ditentukan oleh kepentingan elite.

Fakta bahwa gedung-gedung negara menjadi sasaran utama, memperkuat dugaan bahwa ada agenda untuk mengguncang simbol kekuasaan. Sebab, merusak halte busway bisa dimaknai sebagai luapan emosi spontan, tapi membakar gedung DPRD di banyak kota sekaligus sulit dijelaskan tanpa koordinasi.

Pola Terstruktur: Bukan Kebetulan
Dalam setiap aksi, ada pola yang hampir sama:
Massa awalnya damai: orasi, yel-yel, spanduk.
Provokasi tiba-tiba: entah lemparan batu, dorongan terhadap barikade polisi, atau teriakan “bakar!”.

Massa terpecah: sebagian mencoba menahan, sebagian lain terbakar emosi.
Kerusuhan pecah: gedung diserang, fasilitas dibakar, aparat balik menekan.
Kejadian ini berulang di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta hingga Makasar. Ada “tangan” yang tahu persis kapan dan bagaimana menyalakan api di tengah lautan manusia.

Olah infiltrasi semacam ini bukan fenomena baru, melainkan telah tercatat luas dalam berbagai literatur gerakan sosial. Melalui kerangka political opportunity structure, dapat dipahami bahwa setiap momen protes rakyat kerap dijadikan ruang strategis bagi pihak tertentu untuk menyusup, memprovokasi, dan mengarahkan arus gerakan, sehingga tujuan awal massa sering terdistorsi oleh agenda tersembunyi.

Kepentingan Tersembunyi: Siapa yang Bermain?
Siapa di balik amuk berbaju demo ini? Dugaan bisa mengarah ke beberapa kategori:
Kelompok Politik
Demo adalah panggung yang efektif untuk menggerus legitimasi rezim. Ketika gedung DPRD terbakar di banyak kota, pesan yang muncul bukan lagi soal aspirasi rakyat, melainkan ketidakmampuan pemerintah menjaga stabilitas. Oposisi politik bisa memetik keuntungan dari citra “pemerintah gagal”.

Oligarki Ekonomi
Dalam situasi kacau, ada pihak yang diuntungkan secara ekonomi. Kontrak pemulihan, proyek rekonstruksi, hingga peluang bisnis keamanan bisa menjadi “rejeki” tersendiri.

Kelompok Kriminal
Kerusuhan adalah peluang emas bagi jaringan kriminal. Di tengah kekacauan, penjarahan mudah dilakukan, narkotika beredar tanpa pengawasan, dan konflik dengan aparat bisa dimanfaatkan untuk memperlemah hukum.

Jaringan Internasional
Tak menutup kemungkinan, ada agenda lebih besar: destabilisasi negara untuk melemahkan posisi Indonesia secara geopolitik. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kekacauan domestik kerap dimanfaatkan oleh aktor asing.

Disinformasi Digital: Bahan Bakar Baru
Di era media sosial, provokasi tak lagi butuh pengeras suara di lapangan. Cukup dengan video pendek, foto yang dipotong, atau narasi bombastis “aparat brutal”, amarah bisa menjalar lebih cepat daripada api yang melalap gedung. Analisis percakapan daring selama demo besar terakhir menunjukkan lonjakan drastis tagar provokatif. Banyak akun anonim yang menyebarkan informasi tidak terverifikasi, mendorong emosi massa untuk turun ke jalan.

Di sinilah ruang digital memainkan peran sebagai amplifier kerusuhan. Amuk yang bermula di jalanan segera direkam, disebarkan, lalu diviralkan melalui berbagai platform media sosial.

Narasi provokatif dan potongan video emosional mempercepat resonansi amarah kolektif, meluas dari satu kota ke kota lain, hingga menciptakan efek domino yang membuat kerusuhan tak lagi bersifat lokal, melainkan nasional.

Rakyat di Antara Aspirasi dan Provokasi
Kenyataannya, mayoritas rakyat yang turun ke jalan sejatinya ingin menyuarakan keresahan. Mereka menuntut kebijakan yang adil, menolak keputusan yang dianggap merugikan, atau sekadar mengekspresikan hak konstitusional. Namun, suara itu kerap tenggelam oleh kobaran api.

Di hadapan publik luas, citra demo bukan lagi tentang “aspirasi rakyat”, melainkan “kerusuhan massa”. Akibatnya, pesan substantif yang seharusnya didengar pemerintah justru terdistorsi. Ironisnya, korban paling nyata selalu rakyat sendiri: pedagang kecil yang lapaknya terbakar, pekerja yang terjebak macet berjam-jam, hingga warga kota yang kehilangan fasilitas publik.

Pertanyaan Kunci yang Harus Dijawab
Siapa dalang sesungguhnya di balik pola pembakaran serentak di banyak kota?
Mengapa target hampir selalu gedung DPRD dan kantor kepolisian?
Apakah kerusuhan ini hanya efek spontan rakyat marah, atau ada skenario politik-ekonomi lebih besar?
Bagaimana peran media sosial dalam mempercepat eskalasi amuk?
Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban serius, bukan sekadar retorika.

Kesimpulan: Antara Hak dan Tanggung Jawab
Demo massa adalah hak konstitusional yang harus dijaga. Namun, ketika ia berubah menjadi amuk, nilai demokrasi justru runtuh. Amuk yang berbaju demo massa hanya melahirkan luka sosial, kerugian ekonomi, dan citra negatif bangsa. Karena itu, perlu dipahami: demo bukanlah ruang melampiaskan emosi, melainkan ruang menyampaikan aspirasi dengan etika.

Saran Jalan ke Depan
Masyarakat Kritis: jangan mudah terprovokasi, jangan mudah percaya pada narasi liar di media sosial.
Gerakan Sipil: kelompok mahasiswa, buruh, atau ormas perlu menjaga disiplin aksi agar tidak dimanfaatkan pihak luar.
Media Independen: jangan hanya meliput kobaran api, tapi juga membongkar siapa yang diuntungkan.
Pemerintah & Aparat: utamakan pendekatan intelijen dan dialog, bukan hanya kekuatan represif.
Investigasi Independen: perlu dibentuk tim lintas lembaga untuk membongkar aktor di balik amuk berbaju demo.

Penutup: Mau Berapa Banyak Lagi?
Daftar gedung yang terbakar sudah terlalu panjang. Pertanyaan retoris ini menggema di ruang publik: Mau berapa banyak lagi?!!. Demo harus dipulihkan sebagai ruang demokrasi, bukan ajang anarkis. Jika tidak, api yang menyala di jalanan hanya akan terus membakar kepercayaan kita pada demokrasi itu sendiri.

Penulis : Moh. Ja’far Sodiq Maksum
Dosen Universitas KH. A. Wahab Hasbullah, Tambakberas Jombang

jatim.news

Recent Posts

Bahaya Limbah B3, Perhutani Nganjuk Sosialisasikan Kepada LMDH dan Pesanggem

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menggelar Sosialisasi Pengelolaan Bahan Berbahaya dan…

4 hari ago

Kerjasama Borong Tanam Antara Perhutani Nganjuk dengan LMDH Jati Unggul

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Borong…

4 hari ago

Perhutani dan Kejari Nganjuk Teken PKS Bidang Hukum Perdata dan Tata Usaha

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama Kejaksaan Negeri Nganjuk resmi menandatangani…

4 hari ago

Perhutani Bersama BPBD Nganjuk Gelar FGD Susun Indek Ketahanan

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk berpartisipasi dalam kegiatan Focus Group Discussion…

1 minggu ago

Perhutani Nganjuk Bersama Karim Group Survey Lapangan Kembangkan Ekowisata

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama M. Burhanul Karim Pengusaha Muda…

1 minggu ago

Mahasiswa UPNVJT Ciptakan Teknologi Kombinasi Press Molding dan Dehydrator Package untuk Membantu UMKM Terasi Qonjamadu Meningkatkan Efisiensi dan Higienitas Produksi

Surabaya, Jatim.News – Lima mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) mengembangkan inovasi teknologi…

1 minggu ago