OPINI

Mutasi, Antara Penataan Birokrasi dan Praktik Transaksi

OPINI, Jatim.News — Mutasi jabatan yang digelar Pemerintah Kabupaten Jombang pada 11 September 2025 kembali menjadi sorotan publik. Panjangnya daftar pejabat yang dilantik – mulai dari asisten daerah, kepala dinas, sekretaris, hingga camat -secara kasat mata menunjukkan adanya semangat penyegaran birokrasi. Secara normatif, langkah ini bisa dipandang sebagai upaya pemerintah daerah untuk menata kembali organisasi, merotasi aparatur agar lebih segar, sekaligus mengisi jabatan strategis dengan pejabat yang dianggap mampu mendukung visi pemerintahan baru pasca-Pilkada 2024.

Namun, fakta di balik dokumen internal yang beredar justru membuka wajah lain dari praktik mutasi tersebut. Catatan merah, tanda “usulan”, serta rekomendasi mutasi yang sejak awal muncul dalam berkas, pada akhirnya benar-benar terealisasi dalam pelantikan. Fenomena ini memperkuat kesan bahwa proses mutasi lebih berorientasi pada kalkulasi politik dan kepentingan personal dibanding evaluasi obyektif berbasis kinerja. Alih-alih menjadi momentum memperkuat profesionalisme birokrasi, mutasi ini justru menyingkap masih kuatnya pola transaksional yang mengakar dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Mutasi: Antara Regulasi dan Realitas
Dalam literatur manajemen sumber daya manusia, mutasi seharusnya merupakan instrumen strategis untuk menempatkan orang sesuai kompetensi, memacu kinerja, dan mendukung visi organisasi. Namun, jika kita cermati, beberapa nama pejabat yang sebelumnya bertugas di RSUD Jombang dalam dokumen internal sudah “ditandai” dengan tinta merah sebagai usulan mutasi. Pada akhirnya, nama-nama tersebut benar-benar termuat dalam SK pelantikan. Hal ini memperkuat kesan bahwa mutasi lebih menyerupai proses konfirmasi politik ketimbang evaluasi obyektif berbasis kinerja.

Birokrasi sebagai Arena Politik Kekuasaan
Jika merujuk teori klasik Max Weber, birokrasi ideal berjalan dengan prinsip meritokrasi: jabatan diberikan berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak kinerja, bukan kedekatan, maupun afiliasi politik. Namun praktik di Jombang memperlihatkan adanya catatan informal—misalnya siapa “orangnya siapa”—yang ikut memengaruhi alur mutasi. Dokumen yang sempat beredar memperlihatkan “catatan istimewa” seperti: “orangnya Bu Munjidah”, “promosi”, atau “pensiun” sebagai pertimbangan nonteknis dalam memutuskan posisi. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana birokrasi daerah masih menjadi arena pertarungan pengaruh politik.

Dalam kacamata teori invisible hand Adam Smith , birokrasi seharusnya dibiarkan bekerja secara rasional dengan mekanisme merit yang akan membawa manfaat kolektif, karena kepentingan individu yang berkompetisi sehat akan diarahkan pada tujuan organisasi. Sayangnya, ketika tangan tak terlihat itu (invisible hand yang sering didengungkan salah satu aktor) dimaknai sebagai intervensi politik dan patronase, orientasi birokrasi pun melenceng, dari kepentingan publik menuju kepentingan “elit”.

Dampak pada Layanan Publik
Pertanyaannya: apa dampak dari mutasi berbasis kepentingan politik ini? Pertama, moral aparatur cenderung menurun karena merasa kompetensinya diabaikan. Aparatur yang selama ini bekerja dengan dedikasi tinggi bisa kehilangan motivasi ketika melihat jabatan strategis justru diberikan kepada mereka yang lebih dekat dengan lingkaran kekuasaan, bukan yang memiliki kinerja terbaik. Kondisi ini berbahaya karena menciptakan rasa ketidakadilan di internal birokrasi, yang pada akhirnya menurunkan semangat kerja kolektif. Aparatur yang merasa tidak dihargai cenderung bekerja sekadar menggugurkan kewajiban, tanpa inisiatif maupun inovasi.

Kedua, kualitas layanan publik menjadi taruhannya. Pejabat yang ditempatkan tanpa memperhatikan kecocokan keahlian seringkali membutuhkan waktu adaptasi yang panjang, bahkan bisa salah mengambil keputusan strategis. Akibatnya, masyarakat sebagai penerima layanan menjadi pihak yang paling dirugikan. Lebih jauh lagi, kultur pragmatis dapat terbentuk: pejabat lebih sibuk membangun loyalitas kepada elite politik ketimbang fokus pada peningkatan kualitas layanan. Alih-alih menciptakan birokrasi yang profesional dan responsif, mutasi semacam ini justru mengekalkan budaya patronase, di mana kedekatan lebih dihargai daripada kapasitas.

Momentum Reformasi yang Terlewatkan
Mutasi jabatan sejatinya bisa menjadi instrumen penting untuk mempercepat reformasi birokrasi, terlebih setelah dinamika politik yang muncul pasca-Pilkada 2024. Bupati dan Wakil Bupati terpilih memiliki peluang emas untuk menunjukkan komitmen terhadap meritokrasi dan transparansi dalam pengelolaan aparatur sipil negara. Dengan menempatkan pejabat berdasarkan kompetensi dan rekam jejak kinerja, mutasi dapat menjadi titik balik untuk memperkuat birokrasi yang profesional sekaligus memulihkan kepercayaan publik. Dalam konteks inilah, mutasi seharusnya tidak hanya dipandang sebagai rutinitas administratif, tetapi juga sebagai langkah strategis untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Sayangnya, kesempatan berharga itu tampaknya belum dimanfaatkan secara maksimal. Pola lama mutasi masih tampak berulang: catatan merah internal yang sejak awal sudah menunjukkan siapa yang “diusulkan” ternyata bertransformasi menjadi keputusan formal dalam pelantikan. Hal ini menimbulkan kesan kuat bahwa mutasi lebih berorientasi pada konsolidasi politik ketimbang perbaikan kualitas birokrasi. Masyarakat pun berhak mempertanyakan, apakah proses ini benar-benar diarahkan untuk memperkuat kinerja pemerintahan, atau sekadar mengukuhkan jaringan loyalitas melalui pembagian kursi jabatan? Jika pola ini dibiarkan, jargon reformasi birokrasi hanya akan menjadi retorika, tanpa pernah menjelma menjadi praktik nyata di lapangan.

Penutup
Kabupaten Jombang saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan besar, mulai dari peningkatan kualitas pendidikan, perbaikan layanan kesehatan, penanggulangan kemiskinan, hingga mewujudkan pelayanan publik yang cepat dan responsif. Untuk menjawab tantangan tersebut, dibutuhkan birokrasi yang profesional, solid, dan berbasis meritokrasi, bukan birokrasi yang tersandera patronase politik. Mutasi jabatan seharusnya menjadi instrumen penguatan organisasi, bukan justru melemahkan. Jika pola transaksional tetap dipertahankan, jargon reformasi birokrasi akan berhenti sebagai retorika kosong tanpa implementasi nyata.


Penulis: Oleh: Moh. Ja’far Sodiq Maksum Dosen Universitas KH. A. Wahab Hasbullah

jatim.news

Recent Posts

Bahaya Limbah B3, Perhutani Nganjuk Sosialisasikan Kepada LMDH dan Pesanggem

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menggelar Sosialisasi Pengelolaan Bahan Berbahaya dan…

4 hari ago

Kerjasama Borong Tanam Antara Perhutani Nganjuk dengan LMDH Jati Unggul

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Borong…

4 hari ago

Perhutani dan Kejari Nganjuk Teken PKS Bidang Hukum Perdata dan Tata Usaha

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama Kejaksaan Negeri Nganjuk resmi menandatangani…

4 hari ago

Perhutani Bersama BPBD Nganjuk Gelar FGD Susun Indek Ketahanan

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk berpartisipasi dalam kegiatan Focus Group Discussion…

1 minggu ago

Perhutani Nganjuk Bersama Karim Group Survey Lapangan Kembangkan Ekowisata

NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama M. Burhanul Karim Pengusaha Muda…

1 minggu ago

Mahasiswa UPNVJT Ciptakan Teknologi Kombinasi Press Molding dan Dehydrator Package untuk Membantu UMKM Terasi Qonjamadu Meningkatkan Efisiensi dan Higienitas Produksi

Surabaya, Jatim.News – Lima mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) mengembangkan inovasi teknologi…

1 minggu ago