Moh. Ja’far Sodiq Maksum Dosen Universitas KH. A. Wahab Hasbullah, Tambakberas Jombang.
OPINI, Jatim.News — Demokrasi perwakilan lahir dari premis bahwa rakyat tidak bisa selalu hadir dalam ruang pengambilan keputusan, sehingga mereka menitipkan suara kepada wakil rakyat. Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya, DPR adalah representasi rakyat.
Namun, dalam praktik, tidak sedikit anggota legislatif yang justru mencederai nurani rakyat. Mereka tampil bukan sebagai pejuang kepentingan publik, melainkan aktor yang sibuk menjaga kepentingan pribadi, kelompok, bahkan sekadar panggung popularitas.
Kasus terbaru yang menyita perhatian publik adalah pemecatan dua anggota DPR RI dari PAN, Eko Patrio dan Uya Kuya, yang dianggap telah membuat rakyat geram, serta Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, dua orang legislator Partai NasDem, satu lagi dari Golkar Adies Kadir juga dinonaktifkan dari senayan. Tiga partai ini mengambil sikap karena tekanan opini publik semakin besar, menilai para figur tersebut gagal memegang amanat representasi.
Fenomena ini bukan sekadar insiden politik sehari-hari, melainkan cermin krisis representasi yang lebih dalam. Demokrasi kehilangan ruhnya ketika kursi parlemen lebih dihuni oleh orang-orang bermodal besar, populer di media, tetapi miskin integritas dan jauh dari denyut aspirasi rakyat.
Teori Representasi Politik: Antara Mandat dan Independensi
Ilmuwan politik Hanna Pitkin (1967) dalam karyanya The Concept of Representation membedakan empat bentuk representasi: formalistic representation, descriptive representation, symbolic representation, dan substantive representation. Dari keempatnya, yang terpenting adalah substantive representation—wakil rakyat benar-benar mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Pitkin juga menekankan dua model representasi: delegate model (wakil bertindak sesuai mandat rakyat) dan trustee model (wakil menggunakan independensinya untuk mengambil keputusan terbaik bagi rakyat). Dalam praktik Indonesia, kedua model ini sering gagal berjalan karena wakil rakyat justru terjebak dalam party-centered politics, di mana kepentingan partai dan elite lebih dominan dibanding mandat rakyat.
Jika kita hubungkan dengan kasus Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, dan Nafa Urbach, jelas terlihat bahwa persoalan bukan hanya soal individu, melainkan sistem rekrutmen politik yang lebih mengedepankan popularitas dan “amunisi” ketimbang kapabilitas. Representasi berubah menjadi sekadar descriptive (kehadiran artis, pengusaha, atau figur populer) tanpa diikuti oleh substantive representation.
Krisis Representasi di Indonesia
Fenomena selebritas dan figur kaya masuk ke parlemen bukanlah hal baru di Indonesia. Dari periode ke periode, DPR selalu dihuni oleh figur publik yang meraih kursi karena popularitas, bukan kompetensi. Problemnya, tidak semua figur mampu menyesuaikan diri dengan tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Ada beberapa faktor yang menjelaskan kegagalan ini:
Minimnya komunikasi dengan konstituen – Banyak anggota DPR lebih sering tampil di media atau acara hiburan ketimbang turun ke dapil mendengar aspirasi rakyat.
Kepentingan pribadi dan kelompok – Kursi DPR sering dijadikan batu loncatan untuk kepentingan bisnis atau pengaruh politik pribadi.
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas – Rakyat sulit menilai kinerja legislator karena laporan kerja jarang dipublikasikan.
Budaya politik uang – Proses pencalonan hingga pemilihan sering ditentukan oleh modal finansial, bukan rekam jejak.
Gaya hidup borjuis – Beberapa legislator justru mempertontonkan kemewahan, menambah jurang antara rakyat dan wakilnya.
Kasus pemecatan Eko Patrio dan Uya Kuya oleh PAN, serta penonaktifan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach oleh NasDem, hanyalah gejala dari akar masalah tersebut. Publik tidak lagi melihat DPR sebagai lembaga mulia, melainkan panggung kepentingan dan gaya hidup.
Perbandingan Internasional
Untuk memahami fenomena ini lebih luas, kita bisa belajar dari negara lain:
India – Demokrasi terbesar di dunia ini juga menghadapi problem serupa: banyak anggota parlemen berlatar belakang selebritas Bollywood atau pengusaha besar. Sebuah studi oleh Association for Democratic Reforms (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% anggota parlemen India memiliki catatan kriminal atau keterlibatan konflik kepentingan. Hasilnya, rakyat India kerap meragukan integritas parlemen.
Korea Selatan – Negeri Ginseng beberapa kali dikejutkan oleh skandal politik, termasuk keterlibatan anggota parlemen dalam praktik korupsi atau penyalahgunaan jabatan. Namun, sistem recall election di tingkat lokal memungkinkan rakyat mencabut mandat wakilnya jika dianggap tidak layak. Mekanisme ini memberi tekanan nyata agar wakil rakyat tetap akuntabel.
Amerika Serikat – Meski memiliki sistem checks and balances yang kuat, fenomena “celebrity politicians” juga terjadi, misalnya Donald Trump atau Arnold Schwarzenegger. Bedanya, sistem kampanye terbuka dan independensi media membuat publik bisa lebih leluasa mengawasi. Transparansi laporan keuangan kampanye pun ketat, sehingga rakyat bisa menilai sumber pendanaan politisi.
Dari perbandingan ini, tampak bahwa Indonesia tidak sendirian. Namun, negara-negara lain menyediakan tools korektif—entah melalui recall election, sistem transparansi, atau pengawasan publik yang kuat. Indonesia masih lemah di aspek ini, sehingga krisis representasi cenderung berulang.
Dampak Kegagalan Representasi
Kegagalan wakil rakyat dalam menjalankan fungsi representasi membawa dampak serius diantaranya: Kehilangan kepercayaan publik: survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya sekitar 55%, lebih rendah dibanding TNI dan Presiden. Penurunan kualitas demokrasi: tanpa representasi substantif, demokrasi hanya jadi prosedur elektoral tanpa makna. Frustrasi sosial: rakyat merasa terkhianati, mendorong apatisme politik atau bahkan ledakan protes. Tercederainya nurani rakyat: ketika aspirasi tak didengar, rakyat merasa suara mereka tak berarti. Dalam konteks sosial-politik, dampak ini berbahaya. Demokrasi kehilangan legitimasi ketika rakyat tidak lagi percaya pada wakilnya.
Jalan Keluar: Memulihkan Representasi
Agar parlemen tidak terus menjadi sumber kekecewaan, ada beberapa langkah penting:
Reformasi Rekrutmen Politik – Partai politik harus menyeleksi caleg berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak, bukan sekadar popularitas dan modal.
Penguatan Akuntabilitas Publik – Legislator wajib menyampaikan laporan kinerja secara berkala kepada konstituennya.
Partisipasi Rakyat dalam Pengawasan – Rakyat perlu lebih aktif mengawasi, misalnya melalui forum konstituen, media sosial, hingga mekanisme citizen report.
Etika dan Kesederhanaan – Wakil rakyat harus menjadi teladan kesederhanaan, bukan pamer kemewahan.
Mekanisme Recall Election – Perlu dipertimbangkan aturan yang memungkinkan rakyat mencabut mandat wakilnya bila terbukti mencederai nurani rakyat.
Refleksi Penutup
Kasus Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach dan Adies Kadir hanyalah permukaan dari gunung es krisis representasi politik Indonesia. Demokrasi kita tidak boleh berhenti pada prosedur pemilu lima tahunan, tetapi harus menjamin adanya representasi substantif: wakil rakyat benar-benar hadir untuk rakyat.
Sejarah demokrasi menunjukkan, rakyat tidak pernah lupa. Ketika nurani mereka tercabik, mereka akan menuntut keadilan, baik melalui kotak suara maupun jalan protes. Oleh karena itu, sudah saatnya wakil rakyat menyadari bahwa kursi yang mereka duduki bukanlah hak istimewa, melainkan titipan rakyat. Jika tidak, demokrasi akan kehilangan maknanya, dan rakyat akan mencari jalan lain untuk menyuarakan aspirasinya.
Penulis: Moh. Ja’far Sodiq Maksum Dosen Universitas KH. A. Wahab Hasbullah
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menggelar Sosialisasi Pengelolaan Bahan Berbahaya dan…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Borong…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama Kejaksaan Negeri Nganjuk resmi menandatangani…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk berpartisipasi dalam kegiatan Focus Group Discussion…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama M. Burhanul Karim Pengusaha Muda…
Surabaya, Jatim.News – Lima mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) mengembangkan inovasi teknologi…