Keributan yang terjadi pada Muktamar ke X PPP. (istimewa)
OPINI, Jatim.News — Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlangsung di Mercure Ancol, Jakarta, sejatinya diharapkan menjadi momentum penting konsolidasi organisasi sekaligus peneguhan arah politik partai berlambang Ka’bah. Namun, kenyataan yang muncul justru berlawanan: forum tertinggi partai itu diwarnai kericuhan, munculnya klaim sepihak, serta tarik-menarik legitimasi kepemimpinan. Dinamika panas ini menambah panjang catatan drama internal PPP yang telah berulang kali terjadi sejak partai hasil fusi empat kekuatan politik Islam tersebut berdiri pada 1973.
Ricuh Sejak Pembukaan
Sabtu, 27 September 2025, Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan resmi dibuka pukul 15.00 WIB di Mercure Ancol, Jakarta. Alih-alih berlangsung khidmat, suasana sejak awal justru memanas ketika Pelaksana Tugas Ketua Umum, Muhamad Mardiono, naik ke podium. Sejumlah peserta meneriakkan “gagal ke Senayan” dengan nada kecewa, merujuk pada kegagalan partai mencapai target suara di Pemilu 2024. Sorakan itu menjadi sinyal jelas adanya akumulasi ketidakpuasan kader terhadap kepemimpinan Mardiono.
Sidang Paripurna I yang dipimpin Amir Uskara pun berjalan alot. Usulan pergantian pimpinan sidang ditolak, situasi makin gaduh, hingga akhirnya Amir bersama kelompoknya meninggalkan forum. Tak lama berselang, Mardiono membawa sebagian kecil pendukungnya keluar dari arena resmi Muktamar dan menggelar jumpa pers di ruangan terpisah. Di sana, mereka mengumumkan “aklamasi” yang mengklaim dirinya kembali terpilih sebagai ketua umum. Klaim ini segera ditepis banyak pihak, termasuk Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Romahurmuziy, yang menegaskan bahwa tindakan Mardiono hanyalah “klaim sepihak”.
Legitimasi Muktamar vs Klaim Sepihak
Fakta hukum dan politik jelas berpihak pada forum resmi Muktamar. Tata tertib yang disahkan peserta menegaskan bahwa Muktamar sah jika dihadiri lebih dari 2/3 DPW dan DPC. Forum yang ditinggalkan Amir Uskara dan kelompok Mardiono tetap berlanjut dengan kehadiran mayoritas peserta. Proses sidang pun berjalan hingga Paripurna VIII yang dipimpin Qoyum Abdul Jabar. Tepat pukul 01.07 WIB, Senin 29 September 2025, Agus Suparmanto disahkan secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP periode 2025–2030.
Pernyataan resmi pimpinan sidang menutup ruang abu-abu: “Inilah kehendak Muktamar, bukan klaim sepihak.” Dengan demikian, PPP kini memiliki ketua umum baru yang lahir dari mekanisme demokratis sesuai AD/ART, bukan dari ruang jumpa pers yang sempit.
Luka Lama, Wajah Lama
Apa yang terjadi sejatinya bukan hal baru bagi PPP. Sejak era Orde Baru, partai ini kerap menjadi ajang tarik-menarik kepentingan politik. Ka’bah yang pernah dipaksa mengganti asas Islam menjadi Pancasila pada 1984 kini kembali dipertaruhkan maknanya.
PPP sering terbelah di bawah kepemimpinan yang tidak solid. Dari Hamzah Haz, Suryadharma Ali, hingga Romahurmuziy, semua meninggalkan jejak konflik. Mardiono, yang sebelumnya ditunjuk sebagai Plt Ketua Umum melalui keputusan Menkumham, kini tersisih bukan karena rekayasa hukum, melainkan karena ditolak basis kader.
Dinamika Pasca-Muktamar
Pasca-Muktamar X, tantangan besar menanti Agus Suparmanto. Pertama, merajut kembali keping-keping perpecahan yang ditinggalkan. Ka’bah tak boleh lagi dibiarkan terbelah oleh ambisi personal. Kedua, konsolidasi struktur hingga ke akar rumput dengan mengaktifkan 11 wakil ketua umum wilayah sebagaimana diusulkan DPW Jawa Tengah. Ketiga, memulihkan kepercayaan publik terhadap PPP pasca keterpurukan di Pemilu 2024.
Jika gagal, PPP bisa semakin tenggelam dalam bayang-bayang sejarah: partai Islam warisan fusi 1973 yang kehilangan relevansi di era demokrasi modern.
Refleksi dan Harapan
Muktamar X sejatinya harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh kader PPP. Demokrasi internal partai tidak boleh dikebiri oleh manuver segelintir elite yang hanya mencari jalan pintas demi mempertahankan posisi. Forum tertinggi partai ini semestinya menjadi wadah untuk meneguhkan kembali semangat musyawarah, keterbukaan, dan kebersamaan. Kader maupun umat menuntut lahirnya kepemimpinan baru yang jujur, solid, visioner, serta berorientasi pada perjuangan umat, bukan sekadar berebut kursi dan kekuasaan semu.
Ka’bah, simbol suci yang pernah dipaksa diganti pada era Orde Baru, kini kembali menghadapi ujian sejarah dalam tubuh PPP. Lambang yang seharusnya merepresentasikan persatuan umat Islam itu terancam kehilangan makna jika dibiarkan retak akibat konflik internal. Pertanyaannya, apakah Ka’bah akan tetap tegak sebagai rumah politik bersama umat Islam, atau justru tercerai-berai karena ambisi dan ulah segelintir kader yang mengedepankan kepentingan pribadi dibandingkan marwah partai?
PPP masih memiliki kesempatan untuk melakukan perbaikan dan konsolidasi internal, asalkan konflik tidak terus dibiarkan berlarut. Momentum pasca-Muktamar X semestinya dimanfaatkan untuk merajut kembali persatuan dan mengembalikan kepercayaan umat. Namun, jika perpecahan ini terus berlanjut, sejarah bisa mencatat pahit: Ka’bah tidak lagi terbelah karena tekanan rezim, melainkan oleh ulah dan ambisi kadernya sendiri.
Penulis: Moh. Ja’far Sodiq Maksum
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menggelar Sosialisasi Pengelolaan Bahan Berbahaya dan…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Borong…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama Kejaksaan Negeri Nganjuk resmi menandatangani…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk berpartisipasi dalam kegiatan Focus Group Discussion…
NGANJUK, Jatim.News -- Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk bersama M. Burhanul Karim Pengusaha Muda…
Surabaya, Jatim.News – Lima mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) mengembangkan inovasi teknologi…