OPINI, Jatim.News — Ketegangan Antara Struktur dan Spiritualitas. Fenomena konflik di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dewasa ini menampakkan gejala yang lebih kompleks daripada sekadar perbedaan tafsir terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Permasalahan ini jauh melampaui dinamika administratif, karena ia menyentuh akar identitas NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah—organisasi keagamaan yang hidup dari perpaduan antara struktur kelembagaan dan kearifan spiritual para ulama.
NU tidak lahir sebagai organisasi modern yang steril dari dimensi batin dan spiritualitas, melainkan tumbuh dari riyadhah, tirakat, keikhlasan, dan adab para ulama yang menempatkan pengabdian sebagai laku hidup.
Oleh karena itu, pendekatan legal-formal semata dalam merespons konflik internal hari ini menandai terjadinya dislokasi epistemik, yakni pergeseran cara berpikir dari paradigma hikmah dan kebijaksanaan menuju paradigma birokrasi kering yang mengutamakan prosedur, tetapi mengabaikan kedalaman nilai, etika, dan tanggung jawab moral.
Bahkan lebih dari itu, konflik yang terjadi di tubuh NU dewasa ini memperlihatkan adanya keretakan moral yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme organisasi atau prosedur struktural semata. Persoalan yang muncul menyentuh lapisan yang jauh lebih dalam, yakni terkikisnya akhlaq jam’iyyah yang selama hampir satu abad menjadi sumber daya moral, kohesi sosial, dan kekuatan spiritual NU.
Ketika adab, keikhlasan, dan keteladanan tidak lagi menjadi landasan bertindak, maka setiap solusi administratif berisiko gagal, karena kehilangan pijakan etis yang selama ini menjaga NU tetap utuh dan bermartabat.
NU Direduksi Menjadi Pasal dan Ayat Administratif
Pergolakan yang berlangsung belakangan ini memperlihatkan adanya kekeliruan yang bersifat sistemik, yakni kecenderungan sebagian elite PBNU memposisikan AD/ART sebagai rujukan tunggal dan final dalam menyelesaikan konflik. Dalam disiplin hukum Islam, pendekatan semacam ini sepadan dengan qashr al-dalīl, yaitu mereduksi hukum pada teks literal sambil mengabaikan maqāshid al-syarī‘ah dan pertimbangan maslahah yang seharusnya menjadi ruh dari setiap ketentuan.
Padahal para ulama NU sejak lama menegaskan bahwa teks—baik dalam fiqh maupun dalam aturan organisasi—tidak boleh dipisahkan dari konteks, hikmah, dan tujuan etik yang melatarbelakanginya.
Sikap legal-formalis yang menguat tersebut membawa risiko serius bagi keberlanjutan jam’iyyah. Struktur organisasi berpotensi difiducikan menjadi entitas yang seolah-olah sakral, tanpa diimbangi oleh adab dan orientasi maslahat; mekanisme sosial-kultural NU yang selama ini menjadi perekat jamaah cenderung terpinggirkan; dan peran kiai sepuh sebagai penjaga keseimbangan moral organisasi semakin tereduksi.
Dalam kajian organisasi keagamaan, gejala ini dikenal sebagai institutional displacement, yakni ketika struktur formal mengambil alih ruang otoritas moral dan spiritual yang sebelumnya dijaga oleh para tetua, sehingga organisasi kehilangan kompas etik yang selama ini menjadi sumber kewibawaannya.
Krisis Etos Khidmah
Munculnya istilah sinis “NU = Nunut Urip” sejatinya merupakan alarm keras atas terjadinya pergeseran orientasi sebagian kader NU dari etos khidmah menuju kalkulasi kepentingan. Dalam tradisi pesantren, pengabdian dilandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, dan kesadaran spiritual bahwa jam’iyyah adalah amanah, bukan sarana mencari keuntungan.
Namun realitas mutakhir menunjukkan munculnya fenomena “aktivis profesional” yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya pada struktur NU, sehingga organisasi perlahan dipersepsi bukan sebagai ruang pengabdian, melainkan sebagai sumber nafkah yang harus dipertahankan dengan segala cara.
Konsekuensi dari pergeseran orientasi tersebut sangat serius dan berdampak sistemik. Jabatan tidak lagi dipahami sebagai amanah, tetapi sebagai komoditas yang diperebutkan; struktur organisasi berubah menjadi arena kompetisi, bukan ladang pengabdian; dan loyalitas bergeser dari prinsip dan nilai ke jaringan kepentingan serta patronase.
Dalam perspektif sosiologi Weberian, kondisi ini mencerminkan peralihan dari otoritas karismatik ulama menuju otoritas rasional-birokratis, namun tanpa fondasi etika yang semestinya menopang rasionalitas tersebut. Akibatnya, yang tersisa bukan profesionalisme, melainkan kerakusan, ambisi, dan pragmatisme kekuasaan.
Dalam situasi demikian, nomenklatur AD/ART kerap digunakan sebagai instrumen legitimasi untuk melanggengkan kepentingan pribadi maupun kelompok. Padahal pesan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat tegas dan tidak menyisakan ruang tafsir oportunistik: “Jangan mencari hidup dari NU, tetapi hiduplah untuk NU.”
Ironisnya, sebagian elite hari ini justru membalik pesan luhur tersebut menjadi semacam lisensi moral untuk memungut keuntungan dari jam’iyyah, sebuah praktik yang bukan hanya menyimpang dari etos pendiri, tetapi juga menggerus marwah NU sebagai organisasi keagamaan yang dibangun di atas keikhlasan dan keteladanan.
Ketika Keberanian Ditekan, Kejujuran Dianggap Aib
Realitas NU hari ini kian mendekati gambaran retoris tentang “negeri para bedebah”, di mana kejujuran justru diperlakukan sebagai aib dan pengkhianatan dimaklumi sebagai kelaziman. Dalam konteks konflik PBNU, situasi ini tercermin dari cara suara-suara kritis para kiai yang masih memegang prinsip tsiqah, kehati-hatian, dan adab ditanggapi secara defensif.
Alih-alih dijawab melalui musyawarah yang teduh, kritik tersebut kerap dibalas dengan penyingkiran, pembungkaman simbolik, bahkan kriminalisasi moral, seolah-olah kejujuran telah berubah menjadi ancaman bagi stabilitas struktural.
Padahal, dalam tradisi NU, kritik antarulama tidak pernah diposisikan sebagai serangan personal atau pembangkangan terhadap organisasi. Kritik justru dipahami sebagai ikhtiar menyelamatkan jam’iyyah dari penyimpangan arah dan kerusakan nilai.
Sejarah NU mencatat banyak teladan bagaimana para kiai besar saling mengingatkan dengan penuh hormat dan kasih sayang, seperti dialog intelektual antara KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, atau sikap kehati-hatian KH. Bisri Syansuri dalam menyampaikan koreksi kepada KH. Ali Maksum. Dalam bingkai ini, kritik bukan alat perpecahan, melainkan manifestasi mahabbah dan tanggung jawab moral.
Namun kondisi kontemporer menunjukkan adanya pergeseran cara pandang yang serius. Kritik kini sering diperlakukan sebagai ancaman terhadap “struktur”, bukan sebagai masukan etik untuk perbaikan.
Sikap corporate defensiveness—yang lazim dalam organisasi bisnis atau birokrasi modern—perlahan menyusup ke dalam tubuh NU, padahal ia asing dalam tradisi pesantren yang menjunjung tinggi keterbukaan, tawadhu’, dan kelapangan dada. Jika kecenderungan ini terus dibiarkan, NU berisiko kehilangan salah satu ciri terpentingnya: kemampuan mengelola perbedaan dengan adab dan menjadikan kritik sebagai jalan memperkuat, bukan merusak, persaudaraan jam’iyyah.
Dari Maslahah Menuju Mudarat
Apa yang kini disaksikan publik bukan lagi sekadar konflik internal organisasi, melainkan proses delegitimasi moral NU yang berlangsung di ruang terbuka. Warga nahdliyin akar rumput dihadapkan pada pemandangan yang tidak lazim dalam tradisi jam’iyyah: pertengkaran terbuka antarelite, saling klaim legitimasi struktural, penggunaan dalil agama untuk membenarkan manuver kekuasaan, serta memudarnya keteladanan moral para pemegang otoritas.
Fenomena ini menimbulkan kegelisahan kolektif, karena NU selama ini dikenal bukan oleh kekuatan retorika elite, melainkan oleh kebeningan sikap dan keteduhan akhlak para kiai.
Dalam perspektif usul fikih, kondisi tersebut dapat dibaca sebagai ihtilāl al-qiyam, yakni kerusakan tatanan nilai yang menyebabkan maslahat umum tergeser oleh mudarat yang terus membesar. Ketika dalil dipisahkan dari hikmah, dan struktur dipisahkan dari adab, maka keputusan-keputusan organisasi kehilangan legitimasi etiknya.
Sebagaimana diulas dalam kolom “Kala Tongkat Syuriyah Membelah Laut Merah”, Syuriyah sejatinya bukan sekadar institusi formal, melainkan simbol otoritas moral dan penunjuk arah batin jam’iyyah. Ketika “tongkat” itu tidak lagi mempersatukan, melainkan justru memperdalam jurang konflik, maka yang retak bukan hanya struktur, tetapi orientasi spiritual NU itu sendiri.
Jika situasi ini dibiarkan berlarut, dampaknya jauh melampaui dinamika internal PBNU. Yang terancam adalah integritas NU sebagai penjaga moderatisme Islam, sebagai kekuatan civil society terbesar di Indonesia, dan sebagai pewaris tradisi keilmuan pesantren yang berusia ratusan tahun.
Di titik inilah pesan almarhum KH. Ahmad Hasyim Muzadi menjadi sangat relevan: dalam setiap kegaduhan, perhatikan siapa yang diam, siapa yang berteriak, dan siapa yang bekerja dalam senyap—karena di sanalah muhibbin NU yang sejati berada. Tanpa keberanian untuk kembali pada keteduhan nilai dan kejernihan hikmah, konflik bukan hanya membelah elite, tetapi berpotensi menggerus kepercayaan umat terhadap NU sebagai rumah besar yang selama ini mereka yakini.
NU Membutuhkan Rekonstruksi Moral
Solusi dari krisis yang melanda NU hari ini tidak dapat direduksi hanya pada langkah-langkah teknokratis seperti mediasi internal, penataan ulang struktur organisasi, atau bahkan pembaruan AD/ART.
Pendekatan semacam itu hanya menyentuh lapisan permukaan persoalan, sementara akar krisis justru terletak pada degradasi etika khidmah, melemahnya adab kepemimpinan, serta hilangnya orientasi maslahah jam’iyyah. Tanpa rekonstruksi moral yang menghidupkan kembali kearifan ulama, riyadhah, dan tanggung jawab spiritual, setiap solusi struktural berpotensi menjadi kosmetik belaka dan gagal memulihkan marwah NU secara substantif.Masalahnya bukan di struktur, tetapi di karakter.
NU membutuhkan rekonstruksi moral yang berangkat dari penguatan kembali riyadhah dan keikhlasan para masyayikh sebagai fondasi pengambilan keputusan. Dalam tradisi NU, kebijakan strategis tidak lahir dari kalkulasi cepat atau tekanan situasional, melainkan melalui tirakat, kehati-hatian batin, dan istikharah yang mendalam.
Proses spiritual tersebut berfungsi sebagai mekanisme etik untuk meredam ambisi personal, menjaga kejernihan niat, serta memastikan bahwa setiap keputusan benar-benar berorientasi pada maslahah jam’iyyah, bukan kepentingan kelompok, jaringan, atau figur tertentu.
Selain itu, rekonstruksi moral NU menuntut penguatan adab sebagai fondasi utama interaksi organisasi dan kesadaran kolektif bahwa NU adalah amanah sejarah. Tanpa adab, ilmu dan kewenangan mudah terdistorsi menjadi instrumen kekuasaan, sementara AD/ART berpotensi berubah menjadi senjata legitimasi.
NU tidak boleh diposisikan sebagai panggung politik, sumber nafkah, atau ladang patronase, melainkan sebagai warisan peradaban yang harus dijaga dengan tanggung jawab moral, kejujuran, dan keteladanan.
Menjaga NU Tetap Anggun di Tengah Badai
NU kini berada di simpang sejarah yang menentukan arah keberlanjutan jam’iyyah ke depan. Yang dipertaruhkan bukan sekadar kursi kepengurusan atau kewenangan struktural, melainkan marwah NU sebagai organisasi keagamaan yang selama ini menjadi benteng terakhir moralitas bangsa.
NU lahir dari tradisi keilmuan, keteladanan akhlak, dan kearifan ulama, sehingga ketika konflik internal lebih didominasi oleh logika kekuasaan daripada etika khidmah, yang terancam bukan hanya stabilitas organisasi, tetapi legitimasi moral NU di hadapan umat.
Kegagalan menyeimbangkan struktur organisasi dengan spiritualitas pesantren akan berakibat jauh lebih serius daripada sekadar disharmoni internal. Struktur tanpa ruh hanya akan melahirkan birokrasi kering yang miskin keteladanan, sementara spiritualitas tanpa struktur kehilangan daya kelola.
Ketika keseimbangan itu runtuh, ruh ke-NU-an perlahan terkikis, digantikan oleh praktik-praktik pragmatis yang menjauhkan NU dari nilai andap asor, kejujuran, dan gotong royong yang diwariskan para sesepuh.
Oleh karena itu, pertanyaan paling mendasar hari ini bukan lagi siapa yang benar atau siapa yang salah secara prosedural, melainkan apakah warga dan elite NU masih memiliki keberanian moral untuk kembali kepada hikmah para ulama pendiri.
Ataukah NU dibiarkan larut dalam pusaran ambisi, hingga yang tersisa hanya nama besar tanpa adab, tanpa ruh, dan tanpa kemuliaan. Sejarah pada akhirnya akan mencatat pilihan itu, dan sejarah tidak pernah bersimpati kepada mereka yang merusak amanah leluhur demi kepentingan pribadi.
Penulis: Moh. Ja’far Sodiq M.









