Proyek Dua Gedung Senilai Rp 671 Miliar Rawan Korupsi, Nurawa Diduga Orang Dekat Gubernur Otaki Praktik “Pinjam Bendera” Luar Kaltara?

TANJUNG SELOR, Jatim.News      –       Geliat pembangunan infrastruktur dilingkungan Pemprov Kaltara terbilang cukup marak. Namun, untuk infrastruktur Gedung disebut menyisakan masalah. Seorang Sumber menyebut, baik untuk gedung Pemprov maupun DPRD, disinyalir menyembul kuat praktek kongkalikong didalamnya. 

Dalam kaitan itu, sosok wanita bernama Nurawa yang dikenal merupakan orang dekat Gubernur, diduga kuat memiliki peran mengendalikan itu semua. Benarkah?

Merujuk data www.lpse.kaltaraprov.go.id, tercatat ada 2 proyek gedung yang menguras anggaran cukup fantastis. Yakni gedung DPRD dan gedung Sekretariat Provinsi. Diketahui, paket pembangunan gedung DPRD menggunakan mekanisme multi years (TA 2022 dan TA 2023) yang cukup satu kontrak dengan nilai Rp.204 miliar. 

Bacaan Lainnya

Sedang gedung Sekretariat Provinsi dilaksanakan bertahap pada setiap tahun anggaran. Tercatat ada 9  tahap mulai tahun 2015 hingga tahun 2023 dengan total nilai kontrak tembus Rp 467,22 miliar. 

Sumber menyebut, paket pembangunan gedung dengan total nilai kontrak Rp 671 miliar lebih tersebut ditengarai pemenangnya adalah bendera pinjaman. Terlebih, pemenang paket terakhir gedung sekretariat provinsi juga menjadi pemenang paket gedung DPRD yakni PT Permata Anugerah Yalapersada dari Surabaya (tahun anggaran 2021 dan 2023). 

Sementara 7 tahap pembangunan gedung sekretariat provinsi masing-masing dimenangkan PT Prambanan Dwipaka dari Surabaya (tahun 2015, 2017 dan 2018), PT Galih Rahayu Sentosa dari Jakarta ( tahun 2016), PT Sumber Alam Sejahtera dari Riau (tahun 2019), PT Anugerah Bintan Pratama dari Kepulauan Riau (tahun 2020) dan PT Jaya Semanggi Enjinering dari Surabaya (tahun 2022).

Masih kata Sumber, diduga kuat proses lelang pada semua paket diarahkan siapa yang bakal menjadi pemenang? Lantas siapa yang berperan mengendalikan itu semua? Sumber menyebut nama Nurawa. Wanita yang lahir pada hari pahlawan tahun 1981 ini, di tahun 2023 namanya cukup dikenal masyarakat Tanjung Selor, karena kerap muncul di pemberitaan media. 

Dalam melancarkan aksinya, disebut Nurawa sering menggunakan kedekatannya dengan Gubernur Zainal Arifin Paliwang. Sementara SKPD yang paling sering dijadikan obyek pengaturan proyek adalah Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Pemukiman( DPUPR-Perkim).

Pilihan ini terbilang cukup rasional karena Dinas yang satu ini memiliki anggaran jumbo. Khusus tahun anggaran 2023 saja, dari Rp.1,392 Trilyun belanja APBD Kaltara, tercatat Rp 675 miliar untuk dinas ini. Dengan demikian, tutur Sumber, menguasai DPUPR-Perkim sama saja menguasai separuh lebih APBD Kaltara. 

Bermodalkan kedekatan dengan Gubernur, Nurawa disebut dengan mudah bisa mengendalikan aktor kunci pengadaan barang dan jasa. Yakni mulai Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, PPK dan Pokja di Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa propinsi Kaltara. 

Sumber media ini dilingkungan Pemprov Kaltara menjelaskan bahwa dalam aksinya Nurawa sering berhubungan dengan Tri Prayitno, kabid ULP di Biro Pembangunan Sekprov Kaltara. “Kabid ULP inilah yang memiliki kuasa menentukan siapa pokja ULP”. 

“Bahkan untuk proyek kategori jumbo, Tri Prayitno sendiri yang bertindak sebagai Pokja. Sehingga siapa yang menjadi pemenang bisa dipesan, sekalipun pemenang itu tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha( SBU) seperti pada kasus PT Permata Anugerah Yalapersada pada berita anda yang lalu, ”ujarnya tanpa bersedia disebut namanya.

Sementara itu melalui sambungan telepon, Senin (26/11), SW Diharjo Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) menyatakan bahwa kongkalikong pada pengadaan barang dan jasa di Kaltara nyata adanya. Pada proyek-proyek bernilai jumbo banyak dimenangkan perusahaan dari luar Kaltara. Masalahnya, tegasnya, bendera yang dimenangkan diduga tidak memiliki kualifikasi sebagaimana ketentuan, sehingga hal ini merugikan pemprov Kaltara.

Lebih jauh ia menyatakan bahwa salah satu bentuk penyimpangan yang sering terjadi dalam tender pengadaan barang dan jasa yakni pinjam bendera atau meminjam perusahaan. Praktek ini terjadi, tuturnya, biasanya karena yang ikut tender tidak memenuhi syarat jika memakai perusahaannya sendiri.  

Ditegaskan, pembangunan gedung dua lantai (baik proyek Sekretarian Pemprov maupun DPRD) tersebut tentu tidak sembarang perusahaan bisa mengerjakannya. “Pinjam bendera ini sudah praktek lama dan hingga saat ini masih saja terjadi, terutama di daerah pemekaran baru seperti di Kaltara, “ujar SW Diharjo. 

“Biasanya perusahaan yang dipakai benderanya diluar pengetahuan pihak pemilik. Bahkan ada pemilik perusahaan tidak merasa ikut tender tapi tanda tangannya dipalsukan. Praktik ini sering menyasar pada bendera perusahaan yang bermasalah. Untuk kasus kaltara, tercatat perusahaan yang dipinjam memiliki masalah baik dengan aparat hukum maupun dengan panitia lelang ditempat lain. Penyimpangan seperti ini harus dicegah karena dampaknya multi efek, dan sangat merugikan negara, “tegasnya.

Praktek pinjam bendera, tutur SW Diharjo, disinyalir melanggar tiga ketentuan. Pertama, melanggar prinsip dan etika pengadaan sebagaimana diatur sebagaimana Pasal 6 dan 7 Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pasal 7 mengharuskan semua pihak yang terlibat PBJ mematuhi etika, termasuk mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara. 

“Norma ini juga diatur dalam ketentuan perpres 54 tahun 2010 untuk pengadaan barang dan jasa. Jadi pada pengadaan tahun 2015 masih bisa dikatakan melanggar, ”tambahnya.

Selanjutnya, praktik tersebut melanggar larangan membuat dan memberikan pernyataan tidak benar atau memberikan keterangan palsu sesuai Peraturan LKPP Nomer 9 Tahun 2019. Ketiga, menabrak larangan mengalihkan seluruh atau sebagian pekerjaan kepada pihak lain, sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP Nomer 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Perencanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 

“Sebelum Perka (Peraturan Kepala LKPP) ini lahir, norma terkait hal diatas diatur dalam perpres 54 tahun 2010, jadi praktek pinjam bendera itu dilarang serta berpotensi ada korupsi, “tegas aktivis yang sering ke KPK untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ini. 

“Agar permasalahan ini tidak merugikan keuangan daerah, Gubernur Zainal Arifin Paliwang yang mantan abdi Bayangkara diminta bertindak cepat dengan memerintahkan inspektorat untuk melakukan audit. Bila perlu mengundang BPK atau BPKP untuk melakukan audit investigasi pada dua proyek bangunan gedung tersebut untuk kemudian diteruskan kepada Aparat Penegak Hukum, “harapnya.

Hingga berita ini ditulis, Selasa (28/11/2023), upaya mendapatkan konfirmasi dari Nurawa dan Tri Prayitno belum berhasil dikantongi. Juga, konfirmasi dari Pokja ULP Pemprov Kaltara yang diduga meloloskan PT Permata Anugerah Yalapersada (PAY) yang tidak mengantongi SBU dan sudah masuk daftar hitam itu, belum didapatkan. Karenanya upaya konfirmasi akan terus dilakukan. (red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *