TANJUNG SELOR, Jatim.News – FKMS (Forum Komunikasi Masyarakat Sipil) menuding Pembangunan Gedung DPRD Provinsi Kaltara diduga kuat “menguap” Rp 50 miliar. Tidak hanya itu, pembayaran sebagian pekerjaan dinilai tidak memiliki dasar hukum.
Sebagaimana berita sebelumnya yang menyebut proyek pembangunan 2 gedung senilai Rp 671 milyar disinyalir bermasalah, kali ini Gubernur Zainal Arifin Paliwang memberikan klarifikasi dan membantah semua pemberitaan miring.
”Seharusnya anda konfirmasi ke Dinas PUPR-Perkim. Tidak ada proyek-proyek provinsi seperti yang anda beritakan itu dikuasai bu Nurawa. Gedung Sekprov yang mulai dikerjakan tahun 2017 dan saya hanya melanjutkan penyelesaiannya. Dan kontraktor yang mengerjakan bukan bu Nurawa, ”tulisnya melalui pesan whatsapp, Senin(10/12/2023).
Terkait pembangunan gedung DPRD, Gubernur menyatakan bahwa bangunan itu direncanakan untuk 45 orang sebab diperkirakan dua tahun lagi penduduk Kaltara sudah mencapai diatas satu juta jiwa.
“Membangun gedung DPRD itu nilainya tidak seperti bangun sekolah, menurut perpres 73 tahun 2011 selain ada biaya standar, juga ada biaya non standar yang nilainya maksimal 150 prosen dari biaya standar. Untuk gedung DPRD Kaltara tidak sampai 150 prosen biaya non standar, ”urainya.
Harga tertinggi di Tanjung Selor yang masuk kabupaten Bulungan harga standar adalah Rp.9,02 juta ditambah non standar 150% jadi Rp.22,55 juta. Hitungan sudah mengacu kepada Permen PUPR 22/PRT/M/2018.
“Gedung DPRD sendiri harganya jauh dibawah harga itu, untuk kontraknya itu sebesar Rp.17 juta. semua bahan yang dipakai ini bukan kelas murahan, keramiknya saja merek granito. Makanya jangan tulis yang tidak ada konfirmasi yang akurat. Jangan ya, ”sarannya.
“Anda kalau nulis itu harus lihat sendiri bukan tanpa fakta. Kami mau bangun gedung yang bagus dan mengangkat kearifan lokal bukan asal asal, ”lanjutnya.
“Itu FKMS kalau berani silahkan lihat bangunan gedung DPRD, bukan ngoceh tanpa fakta, ”tulisnya dengan kekesalan yang mendalam.
Gubernur pun awalnya mengaku bahwa kontraktor pemenang adalah orang Kaltara, namun ketika ditunjukkan halaman LPSE yang menyatakan pemenang lelang beralamat di Surabaya, ia tetap bersikukuh. “Betul itu, tapi mereka punya cabang di Tarakan, ”tulisnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, pemenang proyek pembangunan Gedung DPRD Kaltara yakni PT Permata Anugerah Yalapersada(PT PAY) beralamat di Jl.Gayung Sari Barat no 91, lantai 1 Surabaya. Dari informasi yang dikantongi, PT PAY hanya memiliki satu cabang di Jakarta.
Sementara itu terkait bantahan Gubernur, SW Diharjo Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) menyatakan bahwa pembangunan gedung DPRD Kaltara menyalahi Perpres 73 tahun 2011.
“Karena bangunan gedung DPRD Kaltara dibiayai dengan APBD maka masuk kategori bangunan gedung Negara. Oleh sebab itu norma yang diatur dalam perpres tersebut juga berlaku. Ada dua norma penting, pertama standar luas dan harga satuan tiap meterpersegi, ”ujarnya mengawali pembicaraan dengan Jatim.News, Selasa(11/12/2023).
“Kami melihat bahwa dalam pembangunan gedung DPRD Kaltara, kuat dugaan dua norma tersebut tidak dipakai. Seandainya saya perencana gedung DPRD, maka yang pertama perlu diketahui adalah berapa jumlah anggota DPRD? Saat ini anggota DPRD Kaltara adalah 35 orang karena jumlah penduduk dibawah satu juta, namun untuk menjadi penduduk lebih dari satu juga tentunya akan dalam waktu beberapa tahun kedepan akan tercapai. Oleh karena itu asumsi ideal jumlah anggota DPRD adalah 45 orang, ”jelas aktivis jebolan ITS Surabaya ini
Dengan asumsi anggota DPRD 45 orang, maka sesuai perprs 73 tahun 2011, tutur SW Diharjo, setiap anggota akan dapat 117,4 meter persegi ( ruang anggota dan penunjang termasuk sekretariat DPRD) dengan tambahan sirkulasi 20% maka luasan untuk gedung DPRD Kaltara adalah 6435 meterpersegi.
Namun faktanya, gedung yang berdiri diatas lahan 10 ribu meterpersegi lebih itu memiliki luasan banguan seluas 9400 meterpersegi. “Jadi dari luasan saja kami menduga minimal 2965 meterpersegi luasan gedung yang tidak memiliki dasar hukum, ”terangnya sambil menunjukkan hitungan detail ruangan untuk ketua, wakil ketua, komisi, fraksi, sekretariat DPRD dan fasilitas penunjang lainnya.
Lantas apakah luasan yang tidak memiliki dasar hukum tersebut merupakan kerugian Negara? Terkait pertanyaan ini dengan tegas Ketua FKMS menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kerugian Negara.
“Setiap rupiah uang yang keluar dari APBD harus ada dasar hukumnya. Kalau tidak jelas ya berarti kerugian Negara. Dan penanggungjawab APBD dalam hal ini Gubernur wajib dimintai pertanggungjawaban, ”tegasnya.
Lebih jauh SW Diharjo menyatakan bahwa dari nilai kontrak dan luasan gedung yang tidak sesuai aturan sesungguhnya bisa dihitung berapa kerugian negaranya.
“Dengan kontrak Rp.204 miliar dan volume 9400 M2, setelah dipotong pajak dan keuntungan maka setiap meterpersegi bangunan gedung jatuh di harga Rp 17 juta-an. Sehingga sebesar 2965 x Rp.17 juta = Rp. 50,405 miliar pembayaran yang tidak ada dasar hukumnya, “terangnya.
Seperti pemberitaan media ini sebelumnya bahwa pelaksanaan proyek 2 gedung diduga kuat ada kongkalikong pinjam bendera. Tentunya, pihak-pihak yang terlibat tahu kemana larinya uang tersebut.
“Kami menduga pembayaran dari Pemprov Kaltara masuk dulu ke Kontraktor pelaksana dalam hal ini PT Permata Anugerah Yalapersada, lantas ada pembayaran sukses fee kepada pihak tertentu yang akan mengalirkan uang itu ke pihak-pihak tertentu. Kami menduga kuat besarnya ya 20% dari nilai kontrak, ”ujarnya sambil menunjukkan contoh surat FEE PROTECTION AGREEMENT milik PT Permata Anugerah Yalapersada untuk suatu proyek. Dimana surat tersebut ditandatangani Teguh Laksono selaku Direktur Utama.
“Kami membuka diri bila pihak Gubernur ingin masukan dari FKMS terkait dugaan bancakan gedung DPRD Kaltara, bahkan bila ada masyarakat, LSM atau siapa saja warga Kaltara yang ingin melaporkan hal ini ke Aparat Penegak Hukum ( APH) kami siap memback up data. Namun bila tidak yang berminat, ya kami sendiri siap melaporkan kepada APH, ”pungkas SW Diharjo. (din)