Aliansi LSM Jombang Tagih Janji Kejaksaan

JOMBANG, Jatim.News     –      Sejumlah aktivis dan pegiat sosial yang tergabung dalam Aliansi LSM Jombang mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Jombang, Rabu (5/7/2023). Mereka bermaksud menagih janji atas kinerja Korp Adhiyaksa terkait kasus ruko simpang tiga. 

Berlangsung diruang pertemuan kantor Kejaksaan Negeri Jombang, acara bertajuk audensi itu dihadiri langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jombang Tengku Firdaus, didampingi Kasi Intel Deni Saputra dan Kasi Pidsus Acep Subhan Saipuddin. 

Sementara dipihak Aliansi LSM Jombang, ada aktivis senior dan penasehat Aliansi Wibisono, Ketua LPAI-RI Suhartono, Ketua LSM Almatar Dwi Andika, Ketua LSM KOMPAK Jombang Lutfi Utomo, Ketua LSM BKNDI Yusuf Efendi, serta penasehat LSM GeNaH Hasan Daeng. 

Bacaan Lainnya

Pada kesempatan itu, Aliansi LSM Jombang menanyakan perkembangan kasus ruko simpang tiga yang terkesan berjalan lamban bahkan cenderung jalan di tempat. Terakhir, Korp Adhiyaksa menjanjikan bakal ada tersangka per Juni 2023. 

Faktanya, hingga memasuki putaran bulan Juli 2023, penetapan tersangka atau sedikitnya P-19 tidak juga nongol. Hal ini mendorong aktivis Aliansi LSM Jombang mendatangi kantor Kejaksaan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Pada forum itu, sejumlah pertanyaan dilontarkan pihak Aliansi. Diantaranya soal proses penyidikan yang dinilai berlarut-larut dan terkesan tak berujung. Pendapat itu muncul, salah satunya karena penetapan tersangka pada bulan Juni tidak terjadi. 

Sebelumnya, puncak restorasi justice ditetapkan per 31 Desember 2022. Saat itu, siapapun pihak penghuni ruko yang beritikad menunaikan tanggungan sebelum puncak Desember, dipastikan lolos dari jerat hukum. Hasilnya? masih 70 persen tanggungan tidak terbayar dan hanya satu dua saja yang lunas. 

Secara keseluruhan, kesan penanganan perkara berjalan lamban dan berlarut-latut itu mencuat, karena per hari ini, perjalanan kasus hukum ruko simpang tiga sudah memasuki tahun ke 3 sejak terbitnya LHP (Laporan Hasil Periksaan) BPK RI tahun 2021. 

Bagi Aliansi, rentang 3 tahun merupakan waktu yang tidak biasa bagi proses penanganan sebuah perkara. Meski hal itu menjadi domain penuh pihak penyidik dengan segala hak subyektifnya, namun angka 3 tahun merupakan bilangan yang tidak terjangkau oleh logika awam. 

Apalagi muatan kasus hanya berkutat seputar konstruksi lembar kertas. Yakni per 2016, alas hak penghuni ruko berupa SHGB dinyatakan habis dan harus kembali ke SHPL. Pemilik SHPL adalah Pemkab. Itu artinya sejak 2016, aset ruko simpang tiga kembali ke pangkuan Pemkab. 

Sesederhana itu memang. Sebagaimana rekomendasi BPK, kerugian negara muncul, karena sejak 2016 hingga 2021 tidak ada PAD masuk dari sektor aset ruko simpang tiga. Angka kerugian mencapai kisaran Rp 5 milyar. Tentu BPK memiliki instrumen internal untuk menyebut ruko sebagai aset Pemkab.

Namun bagi Korp Adhiyaksa, persoalannya tidak sesederhana itu. Hari ini, untuk sampai pada penetapan tersangka, sejumlah kajian masih diperlukan terutama pendapat ahli hukum pidana. Salah satu alasannya, karena identitas penghuni unit ruko bisa berganti hingga empat nama. 

Pada kesempatan itu, pihak Kejaksaan memastikan proses hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kalau pun dikesankan lamban, itu semata-mata karena penanganan perkara tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi perlu kecermatan ekstra untuk menghindari resiko blunder. (din). 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *