JOMBANG, Jatim.News – Jelang berakhirnya masa bhakti Bupati, Pemerintah Kabupaten Jombang mendapat kucuran dana Percepatan Konektivitas Jalan Daerah dari Pemerintah Pusat sebesar Rp 107 milyar. Kucuran itu dialokasikan untuk proyek preservasi (rigid beton) jalan di 2 titik.
Yaitu ruas Kabuh-Tapen sepanjang 8000 meter dengan pagu sebesar Rp 65 milyar. Serta ruas Sumbergondang-Ploso sepanjang 5.800 meter dengan pagu Rp 42 milyar. Saat ini, kedua paket sudah memasuki tahap pengerjaan Tembok Penahan Jalan (TPJ) dengan progres belum menyentuh 50 persen.
Paket Kabuh-Tapen dimenangkan PT Rama Abdi Pratama asal Bekasi dengan nilai kontrak Rp 58.546.845.024,30. Sedang ruas Sumbergondang-Ploso dimenangkan PT Tripalindo Trans Mix asal Surabaya dengan nilai kontrak Rp 35.369.446.505,08.
Merujuk dokumen RAB, diketahui volume pasangan batu proyek preservasi Sumbergondang-Ploso adalah 15.793,75 m3. Dengan ketentuan satu meterkubik pasangan batu memerlukan 202 Kg semen (Permen PUPR 1/2022), maka total semen yang dibutuhkan mencapai 3.190.337,5 kilogram atau setara 78.000 sak semen.
Dari pantauan lapangan didapati, banyak tercecer serpihan sak semen dilokasi proyek dengan merk Singa Merah. Diduga kuat semen tersebut dipakai untuk bahan material pasangan batu proyek Sumbergondang-Ploso. Sejauhmana kebenarannya, hingga saat ini dugaan itu belum terkonfirmasi.
Hanya saja, tutur seorang Pegiat LSM, tipis kemungkinan semen tersebut tidak digunakan sebagai bahan material. Sedikitnya hal itu bisa dilihat dari sebaran bekas sak semen yang nyaris memenuhi area proyek. Pertanyaannya, darimana serpihan sak semen bisa muncul dilokasi proyek dalam jumlah nyaris merata?
Lalu, apa yang salah dengan semen Singa Merah? Bukankah bahan material yang satu ini tergolong sudah SNI? Pegiat LSM menimpali penggunaan semen merk Singa Merah untuk bahan pasangan batu dipastikan salah dan menyimpang dari ketentuan. Akibatnya, negara berpotensi dirugikan Rp 957 juta.
Merujuk ketentuan Peraturan Menteri PUPR Nomer 1 Tahun 2022, selain harus SNI, semen yang dianggap layak untuk bahan pembangunan proyek pemerintah adalah semen dengan berat jenis 3,14 – 3,15 ton/m3. Sedang semen Singa Merah hanya mengantongi berat jenis 3,01 ton/m3. Selain tidak masuk kualifikasi, perbedaan kualitas juga mencolok.
Terbukti, harga semen Singa Merah dipasar ritel terpaut Rp 300 dengan semen yang memiliki berat jenis 3,15 ton/m3. Salah satunya adalah semen Gresik. Karenanya, tutur Pegiat LSM, pekerjaan pasangan batu proyek preservasi Sumbergondang-Ploso seharusnya menggunakan Semen Gresik, atau Tiga Roda dan Holcim.
Dengan ketentuan satu meterkubik pasangan batu memerlukan 202 kg semen (setara 5 sak semen ukuran 40 kg), ditambah batu belah 1,2 kubik dan pasir 0,4 kubik, belum diketahui apakah praktik dilapangan sudah memenuhi ketentuan itu. Yang jelas, dengan volume 15.793,75 meterkubik, total kebutuhan semen mencapai 3.190.337,5 kilogram.
Jika pasangan batu menggunakan semen merk Singa Merah, maka potensi selisih harga dengan semen berberat jenis 3,15 ton/meterkubik adalah Rp 300 x 3.190.337,5 yaitu Rp 957.101.250. Ini baru soal selisih harga. Belum lagi soal praktik lapangan. Artinya, jika penggunaan semen tidak sesuai takaran, maka negara berpotensi dirugikan 2 kali.
Yakni rugi dari sisi selisih harga semen yang mencapai Rp 957 juta, juga secara jangka panjang kualitas pasangan batu cukup meragukan. Sejauh ini konfirmasi dari PPK belum berhasil dikantongi. Namun, jika penggunaan Singa Merah hanya didasarkan pada label SNI, diduga kuat hal ini merupakan bentuk pengelabuhan. (tim)