JOMBANG, Jatim.News – “SP3 memang domain kejaksaan. Jadi secara subyektif, kejaksaan berhak menerbitkan itu. Hanya, apakah pertimbangan yang dipakai sudah tepat, itu yang perlu diuji, “sergah Wibisono kepada Jatim.News, Rabu sore (11/9/2024).
Sebagai penasehat Aliansi LSM Jombang, Wibisono melihat, terbitnya SP3 untuk kasus ruko simpang tiga cukup kental aroma kejanggalan. Tidak hanya itu, kemunculannya yang terbilang tiba-tiba juga cukup mengagetkan publik.
Mengagetkan, papar Wibisono, karena keputusan tersebut terbilang sangat berani dari corak penanganan perkara sebelumnya yang hanya berputar-putar dan hanya jalan ditempat. Dan itu berlangsung bertahun-tahun.
“Tiba-tiba saja terbit SP3 tanpa dibarengi paparan pendapat ahli (pidana) serta hasil auditor independen yang selama ini digembar-gemborkan. Meski SP3 sah secara domain, namun keputusan ini terbilang sangat berani dan menyisakan kejanggalan, “tegasnya.
Kejanggalan itu, tutur Wibisono, terutama merujuk pada pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Jombang yang menyebut terbitnya SP3 didasarkan pada hasil penyidikan yang tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara.
“Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan tidak ada kerugian negara. Faktanya, dari Rp 5 milyar kerugian negara yang dipatok BPK, ternyata uang tersebut baru terkumpul sekitar Rp 2,6 milyar. Lalu, sisa piutang Rp 2,4 milyar itu apa namanya kalau bukan kerugian negara? “sorot Wibisono.
Sebab, lanjutnya, LHP BPK yang menyebut Pemkab harus mengembalikan Rp 5 milyar ke kas negara dari sektor sewa ruko simpang tiga itu masih menjadi ketetapan hukum yang akan terus berlaku selama tidak ada produk hukum lain yang menganulirnya.
“Maka, jika setoran sewa dari penghuni ruko hanya mampu terkumpul Rp 2,6 milyar atau separonya saja, lalu yang separo lagi siapa yang bayar? Bukankah itu selamanya akan berstatus sebagai temuan korupsi? “sorotnya.
Dalam pandangan Wibisono, munculnya SP3 oleh kejaksaan tidak membuat guliran kasus menjadi reda, tetapi sebaliknya malah kian membuat runyam. Sebab, menentukan siapa yang harus melunasi piutang BPK bakal tidak mudah.
Terbitnya SP3, tegas Wibisono, sama saja menjadikan penghuni ruko terbebas dari jerat melunasi piutang sewa. Dan itu akan menyulitkan Pemkab melakukan tagihan kecuali muncul laporan baru terkait dugaan pidana penyerobotan aset.
Lalu siapa yang akan melunasi itu? Apakah Pemkab? Jika iya, memangnya diambilkan dari pos mana? Pakai cantolan apa? Pakai konstruksi apa? “Jika Pemkab salah menentukan alokasi dan konstruksi, resikonya bakal fatal, “tegas Wibisono.
Pada akhirnya, tutur Wibisono, dugaan kejanggalan atas terbitnya SP3 oleh kejaksaan tidak cukup disikapi hanya dengan perdebatan biasa. Tetapi, langkah kongkrit untuk menguji keabsahan keputusan tersebut perlu segera diambil. (din)