OPINI, Jatim.News — Kenaikan pajak di Indonesia akhir-akhir ini menjadikan pembicaraan yang hangat di media sosial dan di banyak platfrom, alih-alih dengan tujuan peningkatan taraf kehidupan yang lebih baik lagi dengan cara meningkatkan pendapatan negara untuk sektor pelayanan dan pembangunan, oleh karena itu harmonisasi peraturan Perpajakan dinilai efisien untuk menaikkan pendapatan negara agar tidak terus berada dalam kondisi Devisit.
Terlepas dari retorika dan tujuan pemerintah memutuskan kenaikan pajak yang dari 10% menjadi 11% dan nanti di tahun 2025 akan menjadi 12% tentu dampaknya akan sangat dirasakan oleh semua kalangan meskipun tidak semua jenis pajak akan naik. Pandemi Covid 19 memang sudah beberapa tahun berlalu, Namun dampak yang diakibatkan oleh pandemi masih bisa dirasakan oleh masyarakat kita, salah satunya pada sektor perekonomian di indonesia.
Dalam beberapa tahun pasca pandemi perekonomian di indonesia belum dikatakan kembali pulih, hal ini bisa dilihat dari status perekonomian nasional yang belum memunculkan angka yang signifikan.
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menetapkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mulai tahun 2025. Pemerintah bisa menggunakan pajak sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan yang diperlukan untuk membiayai stimulus ekonomi atau pengeluaran publik yang bertujuan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Dibalik tujuan kenaikan pajak tersebut, masih terdapat sistem penyaluran yang belum maksimal baik dalam segi tidak tepatnya sasaran maupun kebocoran anggaran seperti yang terjadi pada tahun 2023 di Palembang, Sumatera Utara dengan adanya kasus korupsi oleh PNS di sektor pajak yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Kebijakan kenaikan pajak ini dapat berdampak kurang baik terhadap kesejahteraan masyarakat karena masih belum meratanya pendapatan masyarakat yang berakibat pada keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Meskipun nilai pajak tersebut juga dialokasikan ke beberapa sektor tetapi, belum memungkinkan dapat menunjang kesejahteraan masyarakatnya.
Kenaikan pajak dari 11% menjadi 12% masih belum bisa dikatakan efektif. Sehingga kebijakan kenaikan pajak juga dapat berpotensi mengurangi daya beli konsumen karena mereka memiliki pendapatan yang lebih sedikit setelah dipotong pajak. Hal ini dapat menyebabkan penurunan permintaan dalam bidang ekonomi, yang pada dasarnya dapat menghambat pemulihan ekonomi.
Seharusnya pemerintah tidak perlu menaikkan pajak lagi untuk meningkatkan ekonomi negara, cukup dengan mengontrol agar tidak terjadi kebocoran anggaran serta memperpendek sistem penyaluran anggaran yang tidak bercampur banyak tangan sehingga dapat tepat sasaran di kalangan masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan kenaikan pajak masih beresiko terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu penting adanya evaluasi terhadap dampak kebijakan kenaikan pajak tersebut.
Evaluasi ini diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya berhasil dalam jangka pendek, tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjangnya terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, serta keadilan sosial, sehingga kebijakan ini dapat menghasilkan manfaat yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Penulis: Chinta Alvina Rahma Sari
Program Studi Administrasi Publik
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo