JOMBANG, Jatim.News — Menjelang akhir masa jabatan Bupati Jombang dan memasuki tahun politik 2024, ada hal tersisa yang layak diapresiase. Bukan sisa, tapi lebih bagaimana produk hukum/peraturan warisan Pemkab era Bupati Munjidah Wahab bisa dikaji ulang (untuk tidak menyebut dianulir) hingga ketemu takaran yang pas.
Karena jika tidak, apalagi tetap bertahan dengan formasi (baca: produk hukum) yang sekarang, rakyat bakal terancam menanggung kerugian milyaran rupiah hingga batas yang tak berujung. Padahal kerugian itu sama sekali tidak perlu terjadi jika pertimbangannya adalah efektifisiensi anggaran.
Tidak hanya menggerus uang rakyat. Tapi juga memicu spekulasi bahkan tudingan, bahwa produk hukum sengaja dibuat dalam koridor pragmatistik dan sarat kepentingan. Pada level ini, Bupati dianggap lebih mementingkan kompromi politik ketimbang efisiensi anggaran.
Sekilas semua nampak baik-baik saja. Karena kebijakan dibungkus dengan label hukum bernama Peraturan Bupati (Perbup) dengan konsideran Perda Jombang Nomer 6/2017 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomer 18/2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
Ini soal Tunjangan Perumahan dan Tunjangan Transportasi bagi Pimpinan dan Anggota DPRD Jombang yang cukup ketara aroma pemborosannya. Dari PP hingga Perbup, semua bicara klausul yang sama. Yakni Pimpinan dan Anggota DPRD berhak atas rumah negara dan kendaraan dinas sebagai penunjang kinerja.
Terbaru, tunjangan perumahan untuk Ketua DPRD terjadi kenaikan Rp 1.600.000 sehingga menjadi Rp 29.200.000 per bulan, Wakil Ketua DPRD naik Rp 1.400.000 menjadi Rp 21.800.000 per bulan, dan anggota DPRD terjadi kenaikan fantastis sebesar Rp 6.100.000 menjadi Rp 18.800.000 per bulan (Perbup 5/2022).
Sedang untuk tunjangan transportasi, setiap anggota DPRD Jombang menerima kenaikan dari Rp 8.470.000 per bulan pada tahun 2017, menjadi Rp 9.700.000 per bulan pada tahun 2020, dan merangkak lagi ke angka Rp 12.900.000 per bulan pada tahun 2022, atau hanya selang 2 tahun dari Perbup sebelumnya.
Pertanyaannya, kenapa sejak 7 tahun lalu pilihannya selalu pemberian tunjangan (perumahan dan transportasi) dan bukan penyediaan rumah negara dan kendaraan dinas? Padahal selain angkanya terus meroket dari waktu ke waktu, kebijakan ini juga menyedot uang rakyat hingga batas tak terhingga.
PP 18/2017, Perda Jombang 6/2017, Perbup Jombang 60/2017, Perbup Jombang 47/2020, dan Perbup Jombang 5/2022, semua menegaskan bahwa ketika Pemkab tidak mampu menyediakan rumah negara dan kendaraan dinas bagi pimpinan dan anggota DPRD Jombang, maka opsinya adalah pemberian tunjangan.
Lalu, benarkah Pemkab tidak mampu menyediakan rumah negara dan kendaraan dinas bagi DPRD? Faktanya sejak 7 tahun lalu opsi tunjangan terus berjalan dan entah kapan berhenti. Padahal standar harga rumah negara dan kendaraan dinas hanya setara dengan 3 atau 4 tahun tunjangan.
Hari ini, 3 tahun tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Jombang berarti Rp 680.400.000, dan 4 tahun berarti Rp 907.200.000. Juga tunjangan transportasi, 3 tahun berarti Rp 464.400.000, dan 4 tahun berarti Rp 619.200.000. Bukankah angka ini terbilang cukup untuk pemenuhan kedua item tunjangan dimaksud?
Merujuk data sirup LKPP tahun 2023, anggaran tunjangan perumahan DPRD mencapai Rp 11.521.200.000 per tahun, dan tunjangan transportasi Rp 7.120.800.000 per tahun. Maka, jika opsi pembangunan rumah dinas yang dipilih, 3 tahun tunjangan berarti Rp 35 milyar, dan 4 tahun tunjangan berarti Rp 46 milyar. Dan setelah itu, stop.
Namun jika opsi pemberian tunjangan yang dipilih, maka per 10 tahun saja, anggaran APBD yang tersedot mencapai Rp 184 milyar. Dan itu bakal terus membengkak selama Pemkab masih berteguh dengan kata “tidak mampu” menyediakan rumah negara dan kendaraan dinas bagi DPRD. (din)