SURABAYA, Jatim.News – Paket pembangunan penghijauan lingkungan diluar kawasan hutan negara CDK Bojonegoro senilai Rp 1,6 milyar yang ditetapkan secara swakelola tipe 1, diduga hanya modus untuk menghindari mekanisme kontraktual atau metode penyedia.
“Sirup LKPP adalah produk hukum. Apa yang terpublis disana, itulah yang terbaca sebagai dokumen negara. Jika ada anggaran kegiatan yang tidak dipublis dengan alasan apapun melebihi batas 31 Maret, dipastikan itu bentuk kebohongan publik, “tegas Sumber.
Terhadap sirup LKPP 2023, lanjut Sumber, diketahui Dinas Kehutanan Pemprov Jatim hanya mempublis 13 paket pada kolom “Penyedia Dalam Swakelola”. Itu pun tidak ada kaitan dengan proyek penghijauan kecuali paket mamin senilai pagu Rp 10.050.000.
Dengan demikian, tegas Sumber, data sirup yang menyebut paket penghijauan lingkungan diluar kawasan hutan negara CDK Bojonegoro senilai Rp 1,6 milyar dilakukan secara swakelola tipe 1 adalah sebentuk informasi final.
Dengan berstatus swakelola tipe 1, dipastikan pekerjaan tersebut direncanakan, dikerjakan, serta diawasi sendiri oleh CDK Bojonegoro sebagai pengguna anggaran. Dan itu terbilang mustahil, terutama untuk pekerjaan tanam dan pemenuhan bibit tanaman.
Dengan pagu sebesar Rp 1,6 milyar, tutur Sumber, dipastikan kebutuhan bibit tanaman tidak sedikit. Dan itu hanya bisa dipenuhi dengan cara beli dari pihak ketiga atau pasar. Padahal praktik demikian bukan lagi swakelola tipe 1.
Juga kebutuhan tenaga tanam. Dipastikan, paket ini butuh tenaga yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar. Karenanya, tidak mungkin dikerjakan sendiri oleh CDK Bojonegoro, tetapi perlu dukungan tenaga luar. Yang demikian ini juga bukan swakelola tipe 1.
Selanjutnya soal perencanaan paket. Karena berstatus swakelola tipe 1 dan bukan pekerjaan konstruksi, tutur Sumber, perencanaan paket cukup dilakukan oleh PPK. Pertanyaannya, bagaimana HPS dan RAB ditetapkan?
“Swakelola tipe 1 berarti perencanaan dibuat sendiri, juga pengawasan dilakukan sendiri. Kalau pun melibatkan Inspektorat, semua tahu bagaimana kinerja APIP terhadap fungsi pengawasan. Artinya, praktik ini rawan terjadi penyimpangan anggaran, “ujarnya.
Karenanya, tegas Sumber, untuk memastikan tidak terjadi kemahalan harga atas satuan bibit tanaman, perlu dilakukan validasi harga secara terukur dan terbuka. Belum lagi munculnya dugaan praktik cashback. Tanpa pengawasan pihak ketiga, tegas Sumber, peluang terjadi cashback cukup besar.
“Selain diduga menabrak Perpres dan Perlem (LKPP), penetapan paket secara swakelola tipe 1 juga disinyalir sebagai modus untuk menghindari kontraktual. Saya menduga paket ini dipaksakan untuk diswakelola tipe 1 dengan pertimbangan dan motif tertentu, “tutur Sumber.
Benarkah dugaan tersebut terjadi pada proyek penghijauan senilai Rp 1,6 milyar? Sayangnya, Kepala CDK Bojononegro Dinas Kehutanan Pemprov Jatim memilih bungkam. Beberapa kali upaya konfirmasi dilayangkan melalui sambungan seluler tapi tidak pernah direspon. (din)