JOMBANG, Jatim.News — Sejak 2022 lalu, sebanyak 46 anggota DPRD Jombang diganjar Rp 18.800.000 per bulan untuk tunjangan perumahan. Selain fantastis dan tertinggi se Jawa Timur untuk kategori daerah Kabupaten, angka ini disebut hasil apprasial lembaga penilai publik (KJPP) dari BUMN yaitu Sucofindo. Benarkah demikian?
Terhadap pernyataan ini, seorang Sumber melempar sejumlah catatan. Antaralain soal tidak terpublisnya angka appraisal Sucofindo ke ranah publik. Karenanya, angka tunjangan merupakan hasil intervensi atau pyur produk Sucofindo, sejauh ini belum terkonfimasi. Pada level ini, Sucofindo hanya memberi opini, bukan pemutus.
Artinya, lanjut Sumber, angka appraisal oleh Sucofindo hanya bernilai pendapat. Selanjutnya, mau dipermak atau tidak, seluruhnya menjadi kewenangan Bupati. Dan itu sudah diaktualisasi lewat produk kebijakan bernama Peraturan Bupati. Dari sini, Sucofindo hanya pendulang, bukan penentu.
Catatan berikutnya adalah, lanjut Sumber, soal tidak munculnya kegiatan appraisal tunjangan perumahan dewan pada daftar kegiatan APBD 2021. Kepastian ini bisa dirunut pada lapak sirup LKPP maupun LPSE. Kenapa tahun 2021? karena Perbup 5/2022 tentang tunjangan perumahan dewan, tutur Sumber, diteken Bupati pada 3 Januari 2022.
Dengan tidak nongolnya item kegiatan appraisal pada lapak sirup LKPP dan LPSE 2021, tegas Sumber, maka kegiatan appraisal oleh Sucofindo menjadi pertanyaan besar. Artinya, pekerjaan bisa benar ada, atau sebaiknya: fiktif. Karena aturannya, setiap kegiatan APBD wajib dipublis di Sirup LKPP.
Sumber menegaskan, jika saja kegiatan apprasial oleh Sucofindo itu fiktif, maka tafsir tentang itu merujuk pada 2 hal. Pertama, telah berlangsung upaya penyesatan informasi secara serius kepada publik. Kedua, tunjangan perumahan yang terbilang jumbo itu tidak ada kaitan dengan Sucofindo.
Sebaliknya, tutur Sumber, jika kegiatan appraisal ternyata benar ada namun tidak dipublis ke publik, maka yang terjadi adalah sebentuk pelanggaran terhadap ketentuan LKPP. “Pertanyaannya, kenapa tidak dipublis? Ada maksud apa dibalik itu? Atau jangan-jangan memang tidak ada appraisal? “ujarnya.
Pertanyaan ini tidak berlebihan. Sebab, tegas Sumber, proses terbitnya Perbup 5/2022 cukup kuat dilingkupi atmosfir politis. “Jejak digital cukup menjelaskan bahwa terbitnya Perbup sempat diwarnai aksi boikot oleh pihak legislatif terkait LKPJ Bupati. Aksi boikot diduga dipicu masalah kesenjangan,” ujarnya.
Saat itu, tepatnya pada 2021, mencuat ke permukaan TPP (Tambahan Pengahsilan Pegawai) Sekda Ahmad Jazuli yang tembus Rp 43 juta per bulan. Menurut Sumber, angka ini dinilai aneh karena melampaui BOP Bupati yang hanya Rp 33 juta per bulan. Tidak hanya Sekda, moncernya TPP juga merambah pejabat struktural Pemkab.
Antaralain Asisten dikisaran Rp 18 juta per bulan, Kepala Bagian diangka Rp 10 juta per bulan, serta Kepala Dinas dipatok Rp 15 juta per bulan. Polemik kian ramai karena dilevel Asisten dan Kepala Bagian terjadi perbedaan angka. Yakni Asisten I hanya mengantongi Rp 16 juta per bulan, sedang Asisten II dan III meraup Rp 18 juta per bulan.
Perbedaan angka menjadi gunjingan karena beban kerja 3 Asisten dinilai sama. Begitu pun pada level Kepala Bagian. Tercatat ada 3 Kabag mendapat TPP Rp 13 juta per bulan, sedang Kabag yang lain hanya Rp 10 juta per bulan. Saat itu Bupati meminta kepada Sekda Jazuli agar besaran TPP dilakukan evaluasi.
Selanjutnya, selang beberapa waktu kemudian, tiba-tiba agenda paripurna terkait LKPJ Bupati berjalan mulus. Seiring itu, Perbup 5/2022 terbit, dan tunjangan perumahan anggota dewan meroket dari Rp 12.700.000 menjadi Rp 18.800.000 per bulan. “Atmosfir politis sangat kental. Sebagaimna data sirup 2021, bisa jadi appraisal memang tidak ada, “ujarnya. (din)