SURABAYA, Jatim.News — Memasuki kalender anggaran 2023, Dinas Kehutanan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur diketahui menetapkan satu paket pekerjaan senilai pagu Rp 1,6 milyar atau tepatnya Rp 1.641.253.000. Paket dengan kode RUP 32418402 ini tercatat dilaksanakan dengan metode swakelola tipe 1.
Sebagaimana data sirup LKPP tahun 2023, paket ini bertajuk “Pembangunan Penghijauan Lingkungan di Luar Kawasan Hutan Negara CDK Wilayah Bojonegoro“. Data sirup tidak menyebut kapan paket dilaksanakan, tetapi rentang jadwal disebut dimulai sejak Januari hingga Desember 2023.
Anehnya, paket ini tidak didukung kegiatan penunjang seperti pengadaan bibit tanaman atau belanja upah untuk pekerja. Dari 13 paket yang terpublis pada kolom ‘penyedia dalam swakelola’, satu-satunya paket yang terkait dengan proyek penghijauan ini hanya belanja mamin rapat senilai pagu Rp 10.050.000.
Padahal Peraturan LKPP menegaskan, tutur Sumber, seluruh kegiatan belanja APBD wajib dipublis di sirup LKPP paling lambat 31 Maret 2023. Dengan tidak munculnya paket pendukung pada kolom ‘penyedia dalam swakolala’, diduga keras paket penghijauan ini hanya sebatas pajangan sirup alias paket abal-abal.
Alasannya, tegas Sumber, karena paket ini potensial menabrak aturan jika dipaksakan untuk dikerjakan. Dengan mematok metode secara swakelola tipe 1, maka seluruh pekerjaan (termasuk kebutuhan barang) harus dikerjakan sendiri dan tidak boleh didapatkan dari pihak ketiga. Lalu darimana bibit tanaman diperoleh?
Merujuk ketentuan Peraturan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah) Nomer 3/2021 tentang pedoman swakelola, tegas Sumber, yang dimaksud swakelola tipe 1 adalah swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi sendiri oleh OPD penanggungjawab anggaran.
Dengan kata lain, sambung Sumber, paket Penghijauan senilai Rp 1,6 milyar ini harus dikerjakan sendiri oleh OPD. Termasuk, perolehan bibit tanaman untuk penghijauan tidak boleh dibeli dari pihak ketiga. Jika itu dilakukan, maka paket ini bukan lagi sebentuk swakelola tipe 1, tetapi bergeser menjadi paket penyedia.
Untuk supaya perolehan bibit tanaman dari pihak ketiga dinyatakan sah sebagai bagian dari swakelola tipe 1, tegas Sumber, perlu ditempuh satu mekanisme bernama ‘penyedia dalam swakelola’. Namun faktanya, kegiatan pendukung tidak muncul di kolom penyedia dalam swakelola. Dan ini terbilang janggal.
“Dengan tidak muncul kegiatan penunjang pada kolom penyedia dalam swakelola, berarti seluruh kebutuhan paket harus dikerjakan sendiri oleh OPD dan tidak boleh diperoleh dari pihak ketiga. Lalu darimana bibit tanaman diperoleh? Juga, sanggupkah pihak OPD melakukan pekerjaan tanam sendiri?,” ujarnya.
Disisi lain, paket penghijauan ini juga memicu pertanyaan tambahan. Diantaranya soal perencanaan paket. Merujuk ketentuan pedoman swakelola, tegas Sumber, seorang PPK memang berhak membuat perencanaan sendiri. Namun tanpa melibatkan konsultan perencana, benarkah RAB dan HPS yang dibuat sudah teruji?
Sumber menilai, paket swakelola tipe 1 dengan pagu besar rawan terjadi penyimpangan. Terutama soal penetapan HPS dan standarisasi harga RAB. “Memang semua perlu pembuktian. Namun swakelola tipe 1 dipastikan minim kontrol karena semua kegiatan diawasi sendiri. Paket ini rawan soal cashback, “ujarnya.
Menariknya, pada kalender anggaran 2022 lalu, diketahui Dinas Kehutanan Jatim juga melangsungkan puluhan paket konstruksi dengan metode pelaksanaan swakelola tipe 1. Paket tersebut antaralain pembuatan Dan Penahan, Gully Plug, dan Sumur Resapan Air. Bagaimana paket tersebut dilaksanakan? (din)