JOMBANG, Jatim.News – Sumber di gedung Pemkab menyebut pintu kompromi untuk kasus ruko simpang tiga sudah tertutup. Saat ini, dipastikan tidak ada lagi ruang untuk restorasi justice. “Sudah telat. Pintu sudah tertutup, “singkatnya sambil memasang satu jari ditengah bibir.
Pada dua pekan terakhir, terang Sumber tersebut, telah merapat satu utusan dari kubu penghuni ruko ke gedung Pemkab. Tujuannya, mengabarkan bahwa para penghuni ruko ada kesanggupan untuk melunasi tunggakan sewa ruko yang selama ini menjadi biang polemik berkepanjangan.
Awalnya kabar tersebut dinilai sebagai progres yang menggembirakan. Karena harapan untuk mengakhiri polemik, berarti segera terwujud. Namun, saat ini Pemkab tidak lagi punya kuasa. Kasus ruko simpang tiga, tegas Sumber, sudah menjadi domain penuh pihak Kejari Jombang.
“Awalnya elit Pemkab cukup senang dengan kabar yang dibawa sang utusan. Namun setelah dikonsultasikan ke Kejaksaan, hal tak terduga justru terjadi. Kejaksaan memastikan tidak ada lagi kompromi. Kalau pun ada pembayaran, itu dipastikan tidak menghapus tindak pidana, “tegasnya.
Penegasan Sumber di gedung Pemkab itu sekaligus menegaskan bahwa penyidik Korp Adhiyaksa masih berteguh dengan sikapnya. Terakhir, juru bicara Kejari Jombang memastikan bahwa selepas Desember 2022, setiap upaya pembayaran sewa ruko tidak lagi bernilai restorasi justice.
Sebaliknya, pembayaran sewa ruko yang terjadi pada rentang Januari 2023 hingga hari ini, justru akan berstatus barang bukti. Rupanya, komitmen Korp Adhiyaksa bukan sekedar isapan jempol. Dan pengakuan Sumber di gedung Pemkab itu adalah buktinya.
Hanya, proses hukum memang terkesan lamban. Berdasarkan informasi yang dihimpun Telusur.id, saat ini upaya penguatan alat bukti oleh Kejaksaan sudah memasuki tahap final. Setelah pendapat ahli pidana berhasil dikantongi, finalisasi itu menunggu hasil audit oleh auditor independen.
Dalam beberapa kesempatan, jubir Kejaksaan menegaskan, pihaknya tidak menampik proses hukum kasus ruko simpang disebut berjalan lamban. Bagi Korp Adhiyaksa, publik punya kebebasan untuk menilai kinerja penyidik. Hanya, Kejaksaan tidak ingin terjadi blunder untuk sekedar memenuhi proses cepat.
Kapan tersangka ditetapkan? Kasi Intel Kejaksaan Negeri Jombang Deny Saputra belum buka suara. Dihubungi melalui sambungan ponsel, Selasa (15/8/2023), Deni belum merespon upaya konfirmasi yang dilayangkan Jatim.News.
Suka Tidak Suka, SHGB Sudah Habis
Secara garis besar, tutur Presdir Aliansi LSM Jombang Hadi Purwanto, kasus ruko simpang tiga adalah soal pertarungan tafsir. Satu sisi penghuni ruko merasa memiliki hak berdasarkan surat perjanjian kerjasama tahun 1996, disisi lain ketetapan PP 40/1996 menolaknya.
Selama ini, lanjut Hadi, pihak penghuni ruko merasa dizalimi oleh Pemkab yang tidak bersedia menerbitkan rekom perpanjangan SHGB. Padahal klausul termaktub dalam perjanjian tahun 1996. Karenanya sebagai bentuk protes, pihak penghuni tetap bertahan menempati ruko.
Untuk membuat semua nampak benar, tutur Hadi, berbagi dalih diusungnya. Mulai bukti ketaatan membayar retribusi, bukti ketaatan membayar PBB, bukti memperoleh SHGB berdasarkan AJB Notaris, hingga mencomot undang-undang perlindungan konsumen, semua dihimpun sebagai kekuatan.
Tidak cukup beropini, pada penghujung 2022 lalu, pihak penghuni juga memberikan kuasa kepada lembaga konsumen untuk melayangkan gugatan di PN Jombang. Tiga dokumen penting antaralain surat perjanjian tahun 1996, rekom pansus DPRD, serta surat perintah membayar sewa oleh Bupati, diminta untuk dibatalkan.
Hasilnya? Zonk. PN Jombang menolaknya. Sekalipun begitu, penghuni tidak patah arang. Mendapati gugatan ditolak, mereka kembali ke laptop. Kembali gembar-gembor soal perlindungan konsumen, soal taat bayar retribusi dan PBB, serta soal posisinya yang terzalimi.
“Analogi saya sederhana. Ibarat SIM kendaraan, jika masa berlaku habis, maka SIM hanya sebentuk kartu sampah. Begitu pun dengan SHGB ruko simpang tiga. Apapun dalihnya, umur SHGB sudah habis. Segala bentuk bantahan dan protes yang muncul, tidak membuat SHGB hidup lagi. Itu intinya, “.
“Soal pembayaran retribusi dan PBB, itu tidak ada kaitan dengan kepemilikan. Soal SHGB dibeli dengan AJB Notaris, hari ini umur SHGB sudah habis. Soal merasa dizalimi karena SHGB tidak diperpanjang, ya digugat wanprestasi, bukan beropini. Soal ketentuan perlindungan konsumen, apa iya nyambung? “urai Hadi.
Wartawan senior ini berpandangan, bahwa apapun dalih yang diusung, legalitas penghuni ruko sudah habis seiring habisnya masa berlaku SHGB. Pihak penghuni tidak lagi bisa bertahan dengan surat perjanjian kerjasama tahun 1996, karena produk dari perjanjian itu adalah SHGB yang saat ini sudah habis.
“Sekali lagi ini soal perdebatan tafsir. Pihak penghuni punya tafsir. Semua orang juga boleh punya tafsir. Termasuk Jaksa dan Hakim. Hanya saja, ibarat main bola, hari ini pertandingan sudah berjalan. Jaksa punya domain, hakim punya palu. Jadi apapun dalihnya, hakim lah yang berkuasa, “tegasnya. (din)