NGANJUK, Jatim.News – Pantauan terakhir pada lapak LPSE Kabupaten Nganjuk tahun anggaran 2024, Selasa (10/9/2024), menunjukkan bahwa dari 900-an paket nontender yang muncul, tidak satu pun ditemukan paket Pengadaan Langsung mamin DPRD.
Khususnya, paket belanja mamin rapat DPRD Nganjuk senilai pagu Rp 1.350.000.000 dan paket belanja mamin jamuan tamu senilai pagu Rp 3.600.000.000, atau sekumpulan paket mamin yang merupakan pecahan dari keduanya.
Apakah ini berarti kedua paket belum dilaksanakan? Ataukah, sesuatu telah terjadi sehingga pelaksanaan paket dibatalkan? Atau, paket sudah dilaksanakan tapi tidak dipublis ke ruang publik? Sejauh ini, dugaan-dugaan itu belum terkonfirmasi.
Hendro Suprasetyo, Ketua LSM GeNaH (Generasi Nasional Hebad) melihat ada yang janggal pada pelaksanaan kedua paket. Menurutnya, mamin sebagai kebutuhan dasar dan penunjang kegiatan OPD tidak mungkin pelaksanaannya ditunda apalagi ditiadakan.
“Kecil kemungkinan paket belum dilaksanakan atau gagal dilaksanakan. Sebab, mamin sebagai penunjang kegiatan OPD adalah sebentuk kebutuhan dasar yang tidak mungkin ditiadakan atau sekedar ditunda pelaksanaannya, “tegasnya.
Ia pun menduga kuat bahwa kedua paket sudah terserap meski belum seluruhnya. Sebab, kegiatan wakil rakyat yang berlangsung sejak awal tahun itu tidak mungkin dihindarkan dari kebutuhan mamin.
hanya saja, pelaksanaan kedua paket diduga tidak dilakukan pencatatan. Atau, tegas Hendro, pelaksanaannya sudah dicatat tapi belum dibukukan dan belum dimunculkan pada lapak LPSE.
Lepas alasan dan argumen yang melatari itu, sambung Hendro, tidak munculnya pelaksanaan paket pada layar LPSE adalah sebentuk hal yang menyimpang. “Sebab, pelaksanaan paket terbilang tidak transparan dan tidak akuntabel, “tegasnya.
Hendro memaparkan, bahwa secara regulatif, pelaksanaan paket Pengadaan Langsung terbagi dalam 3 mekanisme. Yakni belanja dengan nilai paling banyak Rp 10 juta, lalu belanja paling banyak Rp 50 juta, serta belanja senilai Rp 50 juta ke atas.
Untuk belanja paling banyak Rp 10 juta, tutur Hendro, bukti kontraknya berupa nota belanja. Kemudian, untuk belanja paling banyak Rp 50 juta bukti kontraknya berupa kwitansi. Serta belanja diatas Rp 50 juta bukti kontraknya berupa SPK atau dilaksanakan penyedia.
Artinya, tegas Hendro, pelaksanaan belanja mamin senilai paling banyak Rp 10 juta hingga Rp 50 juta memang boleh dilaksanakan sendiri oleh OPD (dalam hal ini Sekretariat DPRD) dalam bentuk pembelian langsung.
Hanya masalahnya, tutur Hendro, kenapa pelaksanaan paket tidak tercatat pada dokumen publik yaitu LPSE? Sehingga paket sudah dipecah dibawah Rp 50 juta dan harganya wajar atau tidak, itu sama sekali tidak terkontrol oleh publik.
“Jadi, boleh saja Pengadaan Langsung dibelanjakan sendiri asalkan nilai transaksi tidak lebih dari Rp 50 juta. Yang menyimpang itu, jika Pengadaan Langsung dipatok diangka milyaran rupiah dan pelaksanaannya tidak dipublis diruang publik, “ujarnya.
Lepas paket mamin sudah dilaksanakan atau belum, tegas Hendro, seharusnya tayangan paket Pengadaan Langsung pada lapak sirup sudah dalam bentuk pecahan paket dan tidak boleh berupa glondongan. (Tim)