SURABAYA, Jatim.News — Kali ini dugaan praktik penyimpangan itu cukup kentara. Seorang Sumber bahkan menyebut, pelaksanaan paket yang satu ini nyaris tidak memiliki alasan pembenar. “Bagaimana mungkin paket pengadaan barang dilaksanakan dengan swakelola tipe 1? Saya menduga praktik ini bukan sebentuk kelalaian biasa,” tegasnya.
Ditegaskan Sumber, apapun dalihnya, kegiatan pengadaan barang dipastikan tidak bisa diswakelola. Apalagi swakelola tipe 1 yang berarti dikerjakan sendiri oleh OPD. “Apakah OPD bisa memproduksi barang? Kalau pun bisa, apakah OPD cukup memiliki kompetensi? Karenanya diperlukan mekanisme bernama penyedia dalam swakelola,” sergahnya.
Sumber menjelaskan, prinsip dari swakelola adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa melibatkan pihak ketiga. “Maka pengadaan barang dengan cara swakelola tipe 1 berarti perolehan barang tidak boleh dilakukan dengan cara beli dari pihak ketiga. Tetapi harus diproduksi sendiri. Itu intinya, “tegasnya.
Sebagaimana data sirup LKPP tahun 2022, Dinas Kehutanan Jatim telah melaksanakan satu paket pengadaan bertajuk “Pengadaan Bahan, Alat dan Bibit Penanaman Hutan Rakyat CDK Banyuwangi”. Paket dengan kode RUP 29319275 ini dipagu sebesar Rp 811.349.996, serta dilaksanakan secara swakelola tipe 1.
Sesuai namanya, paket ini dimaksudkan untuk mendapatkan bahan, alat, dan bibit tanaman, sebagai penunjang kegiatan penanaman hutan rakyat. Namun pihak OPD dipastikan tidak bisa memproduksi sendiri karena tidak memiliki kompetensi. Karenanya, ketiga barang tersebut harus dibeli dari pihak ketiga.
Lalu kenapa Dishut Jatim melaksanakan paket ini secara swakelola tipe 1? Padahal Peraturan LKPP Nomer 3/2021 tentang pedoman swakelola dengan tegas menyebutkan, bahwa swakelola tipe 1 adalah swakelola yang direncanakan, dikerjakan, serta diawasi KLPD sebagai penanggungjawab anggaran.
“Kalau yang diswakelola tipe 1 itu pekerjaan penanaman hutan rakyat, itu baru masuk akal. Sehingga kebutuhan penunjang seperti bahan, alat, dan bibit tanaman, bisa dilakukan melalui paket penyedia dalam swakelola. Lha ini yang diswakelola 1 bukan pekerjaannya, tapi pembelian barangnya, sehingga diduga keras menabrak ketentuan Perpres, “tegasnya.
Dengan nilai pagu sebesar Rp 811 juta, tutur Sumber, paket pengadaan barang ini memiliki banyak pilihan metode. Antaralain bisa dilakukan dengan cara tender, epurchasing, atau pengadaan langsung. Pada cara terakhir, lanjut Sumber, besaran pagu bisa dipecah dalam beberapa paket senilai maksimal Rp 200 juta.
Sumber pun menduga, bahwa dipilihnya metode swakelola tipe 1 cendrung merupakan kesengajaan untuk menghindari lelang (atau metode penyedia lain). Padahal praktik demikian dilarang keras oleh Perpres 16/2018 sebagaimana telah diperbarui dengan Perpres 12/2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Dengan dipilihnya metode swakelola tipe 1, sambung Sumber, pihak OPD bakal mendapat beberapa keuntungan. Salah satunya adalah terhindar dari ketatnya mekanime administratif yang berlaku pada paket penyedia. Sekaligus, bisa leluasa “mengatur harga” karena swakelola tipe 1 tidak melibatkan pengawasan dari pihak ketiga.
Ambil contoh Pengadaan Langsung. Maka mekanisme administratif yang berlaku adalah pembelian maksimal Rp 10 juta diperlukan nota belanja, pembelian hingga Rp 50 juta diperlukan kwitansi, pembelian di atas Rp 50 juta hingga Rp 200 juta diperlukan SPK, dan pembelian di atas Rp 200 juta diperlukan surat perjanjian (tender).
Pada pembelian dengan bentuk kontrak SPK, tegas Sumber, Pengadaan Langsung tidak bisa dilakukan oleh OPD tetapi harus melalui rekanan. Hal serupa juga terjadi pada tender. Sehingga proses pengadaan harus melibatkan banyak pihak dalam ruang pengawasan yang terbuka, serta penetapan harga barang yang berlangsung kompetitif (penawaran).
“Pelaksanaan paket secara swakelola tipe 1 diduga keras melanggar ketentuan Perpres. Dan itu berarti sebuah implikasi jerat tipikor. Saya menduga paket ini cenderung dipaksakan untuk tujuan tertentu. Karena itu APH seharusnya melakukan pemeriksaan, “tegasnya. (din)